KOMPETENSI MEMBACA
Membaca dengan baik dan
menyenangkan mampu menciptakan reading
interest dan reading society bagi
siswa. Dengan demikian, membaca bukan lagi sebagai aktivitas yang membosankan
melainkan sebagai suatu kebiasaan yang melekat pada diri pribadi. Ketertarikan
membaca inilah yang belum masuk pada mayoritas siswa. Padahal, pembelajaran
bahasa, baik bahasa Indonesia, Inggris, Jawa maupun bahasa asing lainnya
termuat kompetensi membaca. Kompas memberitakan bahwa terkait budaya baca,
masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia
Timur berdasarkan data yang dilansir Organization
for Economic Co-operation and Development (OECD) atau Organisasi
Pengembangan Kerjasama Ekonomi.
Saat
ini, penanaman cinta membaca di kelas rendah masih minim. Membaca seolah-olah
sebagai aktivitas tuntutan dan sekadar kewajiban yang harus dilakukan siswa
dihadapan gurunya. Di luar kelas, siswa tidak akan tertarik untuk melakukan
aktivitas itu lagi. Kekurangtertarikan untuk membaca ini kemungkinan besar akan
dibawa hingga dewasa. Menurut Jacob Oetama, rendahnya budaya baca ini
menyebabkan Human Index Indonesia berada pada peringkat 107 dari 177 negara
(Kompas, 20 September 2008).
Jika
kita perhatikan, negara-negara maju adalah negara yang penduduknya memiliki
intensitas membaca tinggi. Berlawanan dengan itu, negara berkembang yang sulit
mengejar ketertinggalan adalah negara yang masyarakatnya memiliki intensitas
membaca yang rendah. Hal ini berkaitan dengan ilmu yang diperoleh dari membaca
kemudian diaplikasikan dalam kehidupan. Data Badan Pusat Statistik tentang
budaya baca masyarakat Indonesia tahun 2003, 2006, dan 2009 menunjukkan bahwa
prosentase penduduk berumur lebih dari 10 tahun 84-90 % menghabiskan waktu
untuk menonton televisi, 50-23 % mendengarkan radio, dan 23-18% membaca
majalah/koran (Kompas, 28 April 2012).
Mengingat
begitu pentingnya kebiasaan membaca, maka penanaman kebiasaan membaca pada
jenjang Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas menjadi
hal penting yang harus diperhatikan praktisi pendidikan. Kompetensi membaca
selayaknya dikemas dalam suatu kegiatan fun
sehingga menjadi pengalaman yang benar-benar melekat pada pribadi anak sepanjang hayat.
Ada
beberapa penyebab kekurangberhasilan pembelajaran membaca di Sekolah Dasar.
Salah satunya ialah metode pembelajaran yang monoton. Kebiasaan pembelajaran
membaca yang dilakukan yaitu: (1) salah
satu siswa membaca cerita kemudian siswa lain mendengarkan; (2) siswa membaca
cerita secara estafet, dibagi tiap siswa satu atau dua paragraf (3) siswa
membaca dalam hati (individu); dan (4) guru yang membaca cerita, sedangkan
siswa mendengarkan. Cara keempat ini mendominasi dalam pembelajaran membaca di
kelas.
Dominasi
keaktifan kelas seharusnya dipegang oleh siswa, bukan guru. Wamendiknas
mengungkapkan bahwa siswa yang tidak diberikan kesempatan untuk mengekspresikan
pendapat yang berbeda akan mematikan kreativitas siswa (Fasli Jalal, Kompas, 4
Desember 2011). Jika pembelajaran berorientasi pada siswa, maka hasil belajar
berupa pengalaman akan diperoleh dan melekat pada diri siswa. Guna meningkatkan
kualitas kompetensi membaca dalam pembelajaran bahasa Indonesia, maka
diperlukan pembenahan dari sistem dan metode pengajaran tersebut.
Tercapainya
pemahaman cerita sehingga melekat dalam diri siswa diperoleh melalui beberapa
prinsip belajar. Prinsip tersebut adalah kebebasan respon dari siswa,
kesempatan mengkristalkan rasa pribadi terhadap cerita, dan peran guru sebagai
pendorong saat siswa bereksplorasi (Rosenblatt 1938 cit. Gani 1988). Membaca nyaring (read aloud) yang dilakukan bersama-sama
dipercaya mampu memperbaiki proses dan hasil kompetensi membaca cerita siswa.
Penelitian Dhaif (1990) membuktikan bahwa read
aloud memberikan kontribusi yang positif bagi siswa dalam memahami bacaan.
Pembelajaran dengan SBR menyenangkan
sehingga motivasi belajar pun meningkat