Senin, 25 Agustus 2014

ANALISIS KESALAHAN BAHASA TUTUT DWI HANDAYANI. M.Pd

Analisis Kesalahan Berbahasa
Tutut Dwi Handayani. M.Pd

ABSTRAK
Tujuan penelitian adalah mengetahui dan mendeskripsikan: (1) bentuk kesalahan berbahasa yang ditemukan dalam tesis mahasiswa nonpendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret; (2) persebaran kesalahan berbahasa yang ditemukan dalam tesis mahasiswa nonpendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret; dan (3) faktor-faktor yang menjadi penyebab kesalahan berbahasa dalam tesis mahasiswa nonpendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian dilaksanakan pada tesis mahasiswa program studi nonpendidikan bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik analisis dokumen dan wawancara yang dilakukan kepada mahasiswa penulis tesis. Teknik cuplikan yang digunakan adalah metode purposive sampling.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Bentuk kesalahan berbahasa yang ditemukan dalam tesis mahasiswa Program Studi Nonpendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana UNS berupa kesalahan ejaan, kesalahan diksi, kesalahan kalimat, dan kesalahan paragraf. (2) Persebaran kesalahan berbahasa yang ditemukan dalam tesis mahasiswa Program Studi Nonpendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana UNS adalah: (a) Kesalahan dalam bidang ejaan sebesar 2246 (57,31%) yang terdiri dari: kesalahan penggunaan huruf huruf kapital sebanyak 536; penggunaan huruf miring sebanyak 147; penggunaan huruf tebal sebanyak 23; penulisan partikel sebanyak 2; penggunaan tanda koma sebanyak 983; penggunaan tanda titik sebanyak 363; dan penggunaan kata depan sebanyak 192. (b) Kesalahan berbahasa dalam bidang diksi sebesar 1148 (29,29%), terdiri dari: kesalahan penulisan kata turunan sebanyak 2; gabungan kata sebanyak 28; kebakuan kata sebanyak 297; konjungsi sebanyak 497; dan ketepatan kata sebanyak 324. (c) Kesalahan berbahasa dalam bidang kalimat sebesar 418 (10,67%), terdiri dari; kesalahan kesatuan gagasan sebanyak 149; kepaduan kalimat sebanyak 242; dan kelogisan kalimat sebanyak 27. (d) Kesalahan berbahasa dalam bidang paragraf sebesar 107 (2,73%). (3) Faktor utama yang menjadi penyebab kesalahan berbahasa dalam tesis mahasiswa program studi nonpendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana UNS adalah penguasaan kaidah bahasa Indonesia yang kurang memadai. Selain itu, faktor-faktor lain yang menjadi penyebab kesalahan berbahasa, antara lain: (a) perhatian terhadap tata bahasa Indonesia yang masih kurang, (b) interferensi bahasa pertama dan bahasa asing, dan (c) motivasi dan sikap bahasa yang masih kurang.

Kata kunci: analisis kesalahan berbahasa, tesis, karya ilmiah.

A.      Tinjauan Analisis Kesalahan Berbahasa
1.       Hakikat Analisis Kesalahan Berbahasa
Bahasa Indonesia memiliki dua kedudukan, yakni sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki fungsi sebagai lambang kebanggaan nasional, lambang identitas nasional, alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial, budaya, dan bahasa, dan alat perhubungan antarbudaya dan daerah. Sedangkan sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia memiliki fungsi sebagai bahasa resmi negara, bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan, bahasa resmi dalam perhubungan tingkat nasional, dan bahasa resmi dalam kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern (Amran: 1976: 145). Keanekaragaman fungsi bahasa Indonesia tersebut menghadirkan ragam bahasa atau variasi pemakaian bahasa yang antara lain dapat berdasarkan pada sarana, suasana, norma pemakaian, daerah, dan bidang penggunaan bahasa.
Bertolak pada fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa negara di atas, maka setiap tulisan yang bertujuan untuk menyebarkan ilmu pengetahuan harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tulisan-tulisan yang dimaksud, misalnya makalah, jurnal, kertas kerja, artikel, skripsi, tesis, dan disertasi. Sedangkan ragam bahasa yang digunakan adalah ragam ilmu.
Ragam ilmu adalah variasi penggunaan bahasa yang digunakan oleh para cerdik pandai dan kaum terpelajar. Sebagai ragam ilmu, bahasa Indonesia memiliki beberapa sifat. Wilardjo (2003: 150) menyatakan bahwa ragam keilmuan memiliki ciri-ciri, antara lain: (1) mantap secara dinamis dan cendekia, (2) jelas dan saksama, (3) hemat dan ratah (sederhana), (4) objektif, (5) panggah (logis), (6) lengkap, (7) tersusun dan terpumpun (fokus), (8) memanfaatkan istilah, tata nama, lambang, grafik, dan sebagainya, (9) membatasi penggunaan majas dan lebih banyak memakai gaya tertentu. Sementara itu, Setyawati (2010: 6) menyebutkan tiga ciri yang menandakan bahasa Indonesia sebagai ragam ilmu, yaitu (1) kemantapan dinamis yang berupa kaidah dan aturan yang tetap, (2) bersifat kecendekiaan, dan (3) adanya penyeragaman kaidah.

Kemantapan dinamis membuat ketetapan yang ada tidak bersifat kaku, tetapi luwes. Hal tersebut memungkinkan perubahan yang tersistem dan teratur di bidang kosakata dan peristilahan, serta mengizinkan perkembangan berjenis ragam yang menjadi kebutuhan dalam kehidupan modern. Bersifat kecendekiaan artinya ragam bahasa ilmu digunakan untuk mengkomunikasikan ilmu. Sedangkan adanya penyeragaman kaidah membuat adanya penyeragaman variasi bahasa untuk menyamakan persepsi atas suatu bahasa ke dalam bahasa Indonesia.

Penyeragaman variasi bahasa ke dalam bahasa Indonesia dinilai perlu karena hakikat ragam ilmu yang dibaca oleh khalayak. Kesalahpahaman, ketidakjelasan, atau kerancuan dapat terjadi seandainya karya-karya ilmiah yang berfungsi untuk mengomunikasikan ilmu masih banyak yang menggunakan bahasa daerah tertentu yang dapat saja memiliki makna berbeda bagi daerah lain.
Hakikatnya, tidak ada satu bahasa yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada bahasa lain. Indonesia yang memiliki bahasa daerah dengan jumlah yang begitu banyak membutuhkan satu bahasa untuk melancarkan komunikasi yang terjadi antardaerah. Bahasa Indonesia memegang peranan penting di dalamnya.

Beberapa permasalahan dapat terjadi karena penggunaan bahasa yang berbeda. Misalnya, kesalahpahaman yang terjadi antara orang Solo dengan Surabaya jika keduanya tidak saling memahami ragam bahasa yang digunakan masing-masing. Benar tidaknya bahasa yang digunakan seseorang ditentukan oleh orang yang berbahasa itu, bukan oleh bahasa itu sendiri. Karena itulah, terdapat imbauan mengenai penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Setyawati (2010: 10) menjelaskan bahwa berbahasa Indonesia yang baik dan benar adalah berbahasa Indonesia yang sesuai dengan faktor-faktor penentu berkomunikasi dan benar dalam penerapan aturan kaidahnya. Atas dasar konsep tersebut, dapat dibuat simpulan bahwa yang dimaksud dengan berbahasa Indonesia yang baik belum dapat diartikan dengan berbahasa Indonesia yang benar dan begitu pula sebaliknya. Maka, untuk dapat berbahasa Indonesia yang baik dan benar, harus diperhatikan situasi pemakaian dan kaidah yang digunakan.
Penguasaan terhadap situasi pemakaian dan kaidah bahasa seseorang akan mengurangi adanya kesalahan berbahasa yang dilakukan. Jika hal tersebut dikaitkan dengan bahasa Indonesia sebagai ragam ilmu, maka penguasaan kaidah bahasa Indonesia merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh kaum cendekiawan, termasuk mahasiswa.

Mahasiswa merupakan kaum terpelajar yang harus menguasai bahasa Indonesia sebagai ragam ilmu karena berhubungan dengan sarana yang digunakan mereka untuk menyampaikan ide, pengetahuan, dan pengalaman. Bahasa Indonesia sebagai ragam ilmu juga diaplikasikan dalam setiap suasana pembelajaran di kelas. Artinya, bukan sekadar bahasa dalam bentuk lisan, tetapi juga dalam bentuk tulisan. Akan tetapi, fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak kesalahan berbahasa yang dilakukan oleh kaum cendekiawan tersebut sehingga membuat tujuan pembelajaran bahasa tidak tercapai dengan maksimal. Hal tersebut misalnya terlihat dalam hasil karya tulis ilmiah mahasiswa.

Namun, meskipun kesalahan berbahasa dapat menyebabkan beberapa kerugian, Norish (1983: 6) menyatakan bahwa kesalahan berbahasa juga memiliki peran penting dalam proses pembelajaran berbahasa. “Some good pedagogical reasons have been suggested for regarding errors made by learners of foreign language leniently, but the most important reason is that the error itself may actually be a necessary part of learning a language (Beberapa alasan pedagogis telah dikemukakan mengenai kesalahan yang dibuat oleh peserta didik dari bahasa asing, tetapi alasan yang paling penting adalah bahwa kesalahan tersebut sebenarnya dapat menjadi bagian penting dalam pembelajaran bahasa).” Pernyataan tersebut menegaskan bahwa kesalahan berbahasa yang dialami peserta didik dapat dijadikan alat bantu yang positif dalam pembelajaran karena dapat digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran bahasa.

Beberapa istilah muncul dalam penggunaan bahasa Indonesia sebagai ragam ilmu. Istilah salah dan keliru atau kesalahan dan kekeliruan membentuk kerancuan dalam makna. Kesalahan dan kekeliruan merupakan dua kata yang bersinonim. Istilah kesalahan (error) dan kekeliruan (mistake) dalam pengajaran bahasa merupakan penyimpangan dalam pemakaian bahasa.
Kedua istilah tersebut harus dijelaskan terlebih dahulu untuk membuat persepsi yang seragam.

Mengenai hal tersebut, Corder (1974b: 25) menyatakan:
“It will be useful therefore hereafter to refer to errors of performance as mistakes, reserving the term error to refer to the systematic errors of the learner from which we are able to reconsrusct his knowledge of the language to date, i.e. his transitional competence.”
“Hal tersebut akan bermanfaat karena selanjutnya dapat digunakan untuk merujuk pada kesalahan kinerja sebagai kekeliruan, sedangkan istilah kesalahan digunakan untuk merujuk pada kesalahan sistematis dari peserta didik dari yang bisa kita rekonstruksi pengetahuannya tentang bahasa sampai saat ini, yaitu kompetensi transisinya.”

Pada bagian lain, Corder menyebutkan bahwa kekeliruan dapat diperbaiki sendiri, tetapi tidak dengan kesalahan. Kesalahan bersifat sistematik dan terjadi secara berulang-ulang serta tidak dikenali oleh siswa. Hal tersebut hanya diketahui oleh guru atau peneliti.
Lebih lanjut, Corder mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan kesalahan berbahasa adalah pelanggaran terhadap kode berbahasa. Pelanggaran ini bukan hanya bersifat fisik, melainkan juga merupakan tanda kurang sempurnanya pengetahuan dan penguasaan terhadap kode. Si pembelajar bahasa belum menginternalisasikan kaidah bahasa (kedua) yang dipelajarinya. Dikatakan oleh Corder, bahwa baik penutur asli maupun bukan penutur asli sama-sama mempunyai kemungkinan berbuat kesalahan berbahasa.

Sementara itu, Brown (2000: 221) menyatakan:
“Error analysis can keep us too closely focused on specific languages rather than viewing universal aspects of language. Gass (1989) recommended that researchers pay more attention to linguistic elements that are common to all languages.”
“Analisis kesalahan dapat membuat kita terlalu fokus pada bahasa tertentu daripada terhadap aspek universal bahasa. Gass (1989) menyarankan bahwa peneliti seharusnya lebih memperhatikan unsur-unsur linguistik yang umum untuk semua bahasa.”

Kedua pendapat di atas memberikan batasan yang jelas terhadap kajian yang dilakukan dalam analisis kesalahan berbahasa dapat membuat peneliti terlalu fokus pada hal-hal spesifik yang membedakan antara bahasa satu dengan bahasa lainnya. Seharusnya, kajian tersebut dilakukan pada hal-hal yang umum yang menjadi perbedaan mendasar pada bahasa-bahasa yang ada di semesta.
Corder dalam Indihadi (2009: 2-3) menggunakan 3 (tiga) istilah untuk membatasi kesalahan berbahasa:  (1) Lapses, (2) Error, dan  (3) Mistake. Penjelasan dari ketiga istilah yang digunakan Corder adalah sebagai berikut.
1)      Lapses
Lapses adalah kesalahan berbahasa akibat penutur beralih  cara untuk  menyatakan sesuatu sebelum seluruh tuturan (kalimat) selesai dinyatakan selengkapnya. Untuk berbahasa lisan, jenis kesalahan ini diistilahkan dengan slip of the tongue sedang untuk berbahasa tulis, jenis kesalahan ini diistilahkan slip of the pen. Kesalahan ini terjadi akibat ketidaksengajaan   dan tidak disadari oleh penuturnya.
2)      Error
Error adalah kesalahan berbahasa akibat penutur melanggar kaidah atau aturan tata bahasa (breaches of code). Kesalahan ini terjadi akibat penutur sudah memiliki aturan (kaidah) tata bahasa yang berbeda dari tata bahasa yang lain, sehingga itu berdampak pada kekurangsempurnaan atau ketidakmampuan penutur. Hal tersebut berimplikasi terhadap penggunaan bahasa, terjadi kesalahan berbahasa akibat penutur menggunakan kaidah bahasa yang salah.
3)      Mistake
Mistake adalah kesalahan berbahasa akibat penutur tidak tepat dalam memilih kata atau ungkapan untuk suatu situasi tertentu. Kesalahan ini mengacu kepada kesalahan akibat penutur tidak tepat menggunakan kaidah yang diketahui benar, bukan karena kurangnya penguasaan  bahasa kedua (B2). Kesalahan terjadi pada produk tuturan yang tidak benar.
Sementara itu, Tarigan dalam Indihadi (2009: 5) menjelaskan kesalahan berbahasa adalah penggunaan bahasa yang menyimpang dari kaidah bahasa yang berlaku dalam bahasa itu. Sedangkan kekeliruan adalah penggunaan bahasa yang menyimpang dari kaidah bahasa yang berlaku dalam bahasa itu namun tidak dipandang sebagai suatu pelanggaran berbahasa.
Perbedaan antara kesalahan (error) dan kekeliruan (mistake) menurut Tarigan dalam Indihadi (2009: 6) disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 1. Perbandingan antara Kesalahan dan Kekeliruan Berbahasa
No.
Kategori Sudut Pandang
Kesalahan (Error)
Kekeliruan (Mistake)
1.
Sumber
Kompetensi
Performansi
2.
Sifat
Sistematis
Tidak sistematis
3.
Durasi
Agak lama
Sementara
4.
Sistem Linguistik
Belum dikuasai
Sudah dikuasai
5.
Hasil
Penyimpangan
Penyimpangan
6.
Perbaikan
Dibantu oleh guru: latihan, pengajaran, remedial
Siswa sendiri: pemusatan perhatian

Burt dan Kiparsky dalam Indihadi (2009: 3) mengistilahkan kesalahan berbahasa itu dengan goof, goofing, dan gooficon. Istilah goof digunakan untuk kesalahan berbahasa, yakni kalimat-kalimat atau tuturan yang mengandung kesalahan, gooficon untuk menyebut jenis kesalahan (sifat kesalahan) dari kegramatikaan atau tata bahasa, sedangkan goofing adalah penyebutan terhadap seluruh kesalahan tersebut,  goof, dan  gooficon.

Lebih lanjut, Indihadi (2009: 3) juga menyampaikan pendapat Huda yang mengistilahkan kesalahan berbahasa itu dengan kekhilafan (error) yang dialami oleh seorang anak yang sedang belajar dan memeroleh bahasa kedua. Sementara itu, George (1972) mengemukakan bahwa kesalahan berbahasa adalah pemakaian bentuk-bentuk tuturan yang tidak diinginkan (unwanted form) khususnya suatu bentuk tuturan yang tidak diinginkan oleh penyusun program dan guru pengajaran bahasa. Bentuk-bentuk tuturan yang tidak diinginkan adalah bentuk-bentuk tuturan yang menyimpang dari kaidah bahasa baku.

Senada dengan hal tersebut, Setyawati (2010: 15) menyatakan kesalahan berbahasa adalah penggunaan bahasa, baik secara lisan maupun tertulis yang menyimpang dari faktor-faktor penentu berkomunikasi atau menyimpang dari norma kemasyarakatan dan menyimpang dari kaidah tata bahasa Indonesia. Pengertian tersebut dirumuskan berdasarkan persepsi bahwa bahasa Indonesia yang baik belum tentu benar dan sebaliknya.

Bertolak dari pengertian kesalahan berbahasa di atas, maka dapat dibuat simpulan bahwa kesalahan berbahasa adalah penyimpangan penggunaan bahasa yang  dilakukan karena pengguna bahasa tidak mematuhi kaidah bahasa, baik secara lisan maupun tertulis. Sedangkan analisis kesalahan berbahasa adalah kajian yang difokuskan pada kesalahan berbahasa berdasarkan penyimpangan kaidah bahasa yang berlaku dalam bahasa yang bersangkutan. Kaidah tersebut meliputi ejaan tata bahasa baku bahasa Indonesia dan norma kemasyarakatan yang berlaku.
Tarigan dan Sulistyaningsih (1996: 24) menyatakan bahwa kesalahan berbahasa merupakan bagian yang integral dari proses belajar mengajar bahasa. Hal tersebut menegaskan bahwa kesalahan berbahasa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses pemerolehan dan pengajaran bahasa. Setiap peserta didik pernah melakukan kesalahan berbahasa. Hanya saja, peserta didik tidak tahu yang mereka lakukan tersebut termasuk kesalahan (error) atau kekeliruan (mistake).


2.       Tujuan Analisis Kesalahan Berbahasa
Analisis kesalahan berbahasa merupakan sebuah proses yang didasarkan pada analisis kesalahan orang yang sedang belajar dengan objek bahasa yang sudah ditargetkan. Bahasa yang ditargetkan tersebut dapat berupa bahasa ibu maupun bahasa nasional dan bahasa asing (Setyawati, 2010: 18). Sementara itu, Ellis dalam Henry Guntur Tarigan dan Djago Tarigan (1995: 68) menyatakan analisis kesalahan berbahasa adalah suatu prosedur kerja yang biasa digunakan oleh para peneliti dan guru bahasa yang meliputi pengumpulan sampel, pengidentifikasian kesalahan yang terdapat dalam sampel, penjelasan kesalahan tersebut, pengklasifikasian kesalahan berdasarkan penyebabnya, serta pengevaluasian atau penilaian taraf keseriusan kesalahan tersebut.

Bertolak dari pendapat tersebut, secara umum tujuan dari analisis kesalahan berbahasa Indonesia dalam karya ilmiah adalah untuk mengetahui kemampuan peserta didik (termasuk mahasiswa) dalam berbahasa Indonesia, khususnya bahasa tulis dalam karya ilmiah dengan cara menentukan ciri-ciri, mengidentifikasi, menjelaskan, mengklasifikasi, dan mengevaluasi secara sistematis kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan.

Corder (1974b: 22-23) menyatakan bahwa kesalahan atau kekhilafan berbahasa bukanlah semata-mata harus dihindari, melainkan fenomena yang dapat dipelajari. Oleh karena itu, analisis kesalahan berbahasa memiliki beberapa tujuan, antara lain: (1) sebagai umpan balik (feedback) bagi guru dalam menentukan tujuan, bahan ajar, prosedur pengajaran serta penilaian yang sudah dilaksanakannya; (2) sebagai bukti bagi peneliti (penelitian) dalam mengetahui anak (siswa) memperoleh dan mempelajari bahasa; dan (3) sebagai  input (masukan) penentuan sumber atau tataran unsur-unsur kesalahan berbahasa pada anak (siswa) dalam proses  pemerolehan dan pembelajaran bahasa (dalam hal ini adalah bahasa kedua).

Tarigan dalam Indihadi (2009: 24) kemudian mengemukakan bahwa analisis kesalahan berbahasa dapat digunakan untuk memperbaiki lima komponen dalam proses belajar mengajar bahasa. Komponen yang pertama adalah tujuan dalam pembelajaran bahasa. Berhubungan dengan tujuan pembelajaran bahasa, analisis kesalahan berbahasa dapat digunakan untuk merumuskan pembelajaran bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Komponen kedua dalam pembelajaran bahasa yang dapat memanfaatkan analisis kesalahan berbahasa adalah bahan ajar. Berhubungan dengan bahan ajar, analisis kesalahan berbahasa dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam: (1) menyusun bahan pembelajaran yang merupakan hasil penyempurnaan; (2) menentukan urutan penyajian bahan pembelajaran berdasarkan hasil analisis kesalahan berbahasa; (3) menetapkan penekanan bahan pembelajaran berdasarkan temuan interferensi bahasa pertama (B1) siswa; (4) menyusun bahan pelatihan kemampuan siswa dalam proses pemerolehan dan pembelajaran bahasa kedua; dan (5) memilih sumber bahan pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan siswa.

Selanjutnya, komponen ketiga yang dapat menggunakan hasil dari analisis kesalahan berbahasa berkaitan dengan penyajian pembelajaran. Komponen ini berhubungan dengan beberapa hal, yaitu: (1) pemilihan metode penyajian yang sesuai dengan tujuan dan bahan ajar; (2) pemilihan metode yang memberi peluang kepada siswa untuk proses pemerolehan dan pembelajaran bahasa kedua; dan (3) pengimplementasian metode (penyajian) pembelajaran dengan strategi dan teknik yang menarik dan bervariasi.

Komponen keempat yang dapat memanfaatkan analisis kesalahan berbahasa berkaitan dengan pemilihan media pembelajaran. Komponen ini memerhatikan beberapa hal, seperti (1) pemilihan media pengajaran (pembelajaran) yang fungsional sesuai dengan tujuan dan bahan ajar; (2) penyediaan alat-alat peraga; gambar atau diagram yang diperlukan;  dan (3) pelaksanakan demonstrasi atau sosiodrama untuk melatih (membiasakan) siswa dalam berbahasa.
Komponen yang terakhir adalah penilaian pembelajaran. Komponen ini dapat memanfaatkan hasil analisis kesalahan berbahasa untuk beberapa hal, seperti: (1) merumuskan kisi-kisi penilaian; (2) menyusun butir-butir penilaian yang sesuai dengan tujuan dan bahan ajar; dan (3) merumuskan pedoman atau rambu-rambu menilai keberhasilan dan ketidakberhasilan siswa, termasuk untuk program remedialnya.

Berdasarkan uraian tujuan analisis kesalahan berbahasa di atas, maka lebih lanjut analisis kesalahan berbahasa dapat digunakan guru untuk mencari dan menentukan landasan pengajaran bahasa. Dengan begitu, pengajaran bahasa akan berlangsung secara optimal dan pengajaran bahasa dapat memprediksi kesulitan dan kesalahan siswa dalam berbahasa.

  1. Daerah Analisis Kesalahan Berbahasa
Ruang lingkup analisis kesalahan berbahasa tidak jauh berbeda dengan ruang lingkup linguistik. Hal tersebut karena terdapat kaitan antara ilmu yang digunakan sebagai dasar analisis kesalahan berbahasa, yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik (Markhamah dan Atiqa, 2011: 56). Jadi, ruang lingkup analisis kesalahan berbahasa berada pada tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik.

Analisis kesalahan berbahasa pada tataran fonologi adalah analisis kesalahan yang berhubungan dengan sistem fonem pada bahasa Indonesia. Setyawati (2010: 25) mengungkapkan bahwa sebagian besar kesalahan berbahasa Indonesia dalam tataran fonologi berkaitan dengan pelafalan. Bila kesalahan pelafalan tersebut dituliskan, maka terjadilah kesalahan berbahasa dalam ragam tulis. kesalahan berbahasa yang berada pada tataran fonologi, antara lain: perubahan fonem, penghilangan fonem, penambahan fonem.

Selanjutnya, mengenai kesalahan berbahasa pada tataran morfologi. Kesalahan berbahasa dalam tataran morfologi dapat terjadi karena banyak hal. Antara lain disebabkan oleh kesalahan dalam pemilihan afiks, penggunaan kata ulang, penyusunan kata majemuk, dan pemilihan bentuk kata. Markhamah dan Atiqa (2011: 56) menjelaskan analisis kesalahan berbahasa pada tataran morfologi merupakan kegiatan mengidentifikasi, mengklasifikasi, dan menginterpretasi kesalahan pada bidang morfologi yang berhubungan dengan penggunaan morfem, kata, dan semua derivasinya. Derivasi dari morfem dan kata yang dimaksud adalah proses penambahan afiks (baik prefiks, infiks, sufiks, maupun konfiks atau simulfiks), proses pengulangan atau reduplikasi, dan penggabungan atau komposisi.

Sedangkan analisis kesalahan berbahasa dalam tataran sintaksis merupakan kegiatan mengidentifikasi, mengklasifikasi, dan menginterpretasi kesalahan pada bidang sintaksis. Pada tataran ini, objek analisis adalah struktur kalimat, urutan kata, koherensi (kepaduan), kelogisan, kevariasian, keserasian, dan lain-lain. Kesalahan dalam tataran sintaksis berkaitan erat dengan kesalahan dalam tataran morfologi karena kata-kata merupakan unsur dari kalimat.
Yang terakhir adalah kesalahan dalam tataran semantik yang dapat berhubungan dengan bahasa tulis maupun lisan. Kesalahan berbahasa dalam tataran semantik menekankan pada penyimpangan makna, baik yang berkaitan dengan fonologi, morfologi, maupun sintaksis.  Jadi, jika ada sebuah bunyi, bentuk kata, atau kalimat yang maknanya menyimpang dari makna yang seharusnya, maka tergolong dalam kesalahan berbahasa semantik (Setyawati, 2010: 103).

Selain pendapat di atas, Tarigan (1996: 48-49) mengelompokkan kesalahan berbahasa dalam bahasa Indonesia ke dalam beberapa kelompok, yakni: (1) berdasarkan tataran linguistik yang mengklasifikasikan kesalahan berbahasa di bidang fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan wacana; (2) berdasarkan kegiatan atau keterampilan berbahasa yang mengklasifikasikan kesalahan berbahasa dalam kesalahan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis; (3) berdasarkan sarana atau jenis bahasa yang digunakan yang mengklasifikasikan kesalahan berbahasa menjadi kesalahan berbahasa lisan dan tertulis; (4) berdasarkan penyebab kesalahan yang mengklasifikasikan kesalahan berbahasa akibat pengajaran dan interferensi; dan (5) berdasarkan frekuensi terjadinya yang mengklasifikasikan kesalahan berbahasa dalam frekuensi paling sering, sering, sedang, kurang, dan jarang terjadi.

Hal lain yang berhubungan dengan kesalahan berbahasa yang sering terdapat dalam penulisan karya ilmiah adalah kesalahan penalaran yang membuat tulisan menjadi rancu dan ambigu. Kesalahan tersebut dapat terjadi karena kesalahan dalam penulisan ide ke dalam sebuah wacana. Secara fungsional, wacana digunakan untuk mengekspresikan suatu tujuan atau proses sosial di dalam suatu konteks situasi dan konteks kultural. Konsep ini membuat wacana menjadi domain ekspresi dan potensi makna. Sementara itu, konteks situasi dan kultural merupakan sumber makna (Santosa, 2010: 1).

Konteks kultural adalah suatu sistem nilai dan norma yang merepresentasikan suatu kepercayaan di dalam suatu kebudayaan. Sedangkan konteks situasi merupakan lingkungan langsung yang berada di dalam penggunaan bahasa. Halliday dalam Santosa (2010: 2) menyebutkan bahwa konteks situasi terdiri dari tiga aspek, yakni medan (field), pelibat (tenor), dan sarana (mode).
Wacana yang ditulis untuk kepentingan ilmiah harus lebih menekankan pada keteraturan logika wacana agar ide yang disampaikan dapat sampai dengan sempurna. Logika wacana merupakan realitas logikal yang menghubungkan antar-realitas pengalaman di dalam suatu wacana yang dibangun melalui hubungan antarpengalaman di dalam wacana. Logika di dalam sistem wacana bekerja di seluruh level kebahasaan yang dimulai dari struktur grup, klausa, maupun wacana.

Artinya, logika wacana harus dijaga mulai dari taraf terendah sampai tertinggi dalam sebuah wacana. Hal tersebut harus dilakukan karena ide atau gagasan yang disampaikan dalam sebuah wacana harus merupakan kumpulan-kumpulan satuan yang saling mendukung dan mencapai satu puncak makna.
Logika wacana diekspresikan melalui hubungan konjungtif, baik secara eksplisit maupun implisit di dalam suatu wacana. Martin dan Rose dalam Santosa (2010: 8) menyatakan bahwa logika ini mengekspresikan hubungan antarkejadian dan kualitas atau menghubungkan dan mengorganisir argumen atau bukti di dalam suatu wacana. Hubungan konjungtif yang menghubungkan kejadian dan kualitas disebut hubungan konjungtif eksternal, sedangkan hubungan konjungtif yang mengorganisir argumen, bukti, dan simpulan disebut hubungan konjungtif internal.

Makna utama hubungan konjungtif di dalam logika wacana dapat dibedakan menjadi empat macam, yakni penambahan, pembandingan, waktu, dan konsekuensi. Penggunaan kata-kata yang dapat digunakan untuk menyampaikan masing-masing hubungan konjungtif tersebut harus dilakukan dengan tepat agar tidak terjadi kerancuan dalam logika wacana, terutama dalam tulisan yang mendeskripsikan penelitian ilmiah.

  1. Model Analisis Kesalahan Berbahasa
Model analisis kesalahan berbahasa diperlukan untuk memudahkan dalam menganalisis kesalahan berbahasa. Berikut ini disampaikan model analisis kesalahan berbahasa yang disampaikan oleh Tarigan yang dikutip oleh Indihadi (2009: 27).
1)      Model Analisis Kesalahan Berbahasa dalam Bidang Fonologi
Kesalahan dalam bidang fonologi meliputi ragam bahasa lisan dan tulis. Kombinasi dari kedua ragam bahasa tersebut akan menimbulkan aneka jenis kesalahan berbahasa. Ada kesalahan berbahasa karena perubahan pengucapan fonem, penghilangan fonem, penambahan fonem, salah meletakkan penjedaan dalam kelompok kata dan kalimat. Selain itu, kesalahan berbahasa dalam bidang fonologi dapat pula disebabkan oleh perubahan bunyi diftong menjadi bunyi tunggal atau fonem tunggal.

Ada berbagai kesalahan berbahasa Indonesia dalam bidang fonologi. Dalam setiap kesalahan berbahasa itu tersirat sebab atau penyebab kesalahan berbahasa tersebut. Misalnya, kata akan diucapkan aken menunjukkan penyebab kesalahan fonem /a/ diucapkan /e/. Kata  keliru diucapkan keleru menunjukkan penyebab kesalahan fonem /i/ diucapkan /e/. Kata kalau diucapkan kalo menunjukkan bahwa kesalahan berbahasa itu disebabkan bunyi diftong /au/ diucapkan sebagai /o/.

Hal yang hampir sama terdapat pula dalam pengucapan aktif menjadi aktiv, variasi menjadi  fariasi, ubah menjadi obahstasiun menjadi stasionpantai menjadi  pante, dahsyat menjadi  dahsat. Penyebab lain dalam kesalahan berbahasa Indonesia pada bidang fonologi ini adalah penghilangan atau penambahan fonem tertentu. Misalnya, kata gaji, sila, dan biji diucapkan dan dituliskan menjadi gajih, silahkan, dan bijih (besi). Atau kata hilang, haus, dan hembus diucapkan dan dituliskan menjadi ilang, aus, dan embus.

Selain itu, terdapat juga kesalahan mengenai penempatan jeda saat mengucapkan kelompok kata atau kalimat. Kesalahan lain dalam penekanan kata dalam kalimat. Misalnya tekanan kata dijatuhkan pada suku pertama setiap kata atau sebaliknya, tekanan kata dalam kalimat dijatuhkan pada suku akhir setiap kata.
Pengucapan dan penulisan tidak selalu sejalan dalam bahasa Indonesia. Hal ini terbukti dalam pemenggalan kata. Bila bahasa ujaran yang dijadikan patokan maka kata belajar dapat dipenggal menjadi bela-jar, be-lajar, atau be-la-jar. Ternyata pemenggalan itu salah. Seharusnya kata belajar dipenggal menjadi bel-ajar, bela-jar, atau be-a-jar. Kata kelanjutan  diucapkan kelan-ju-tan tetap pemenggalan atas suku katanya adalah ke-lan-jut-an.

2)      Model Analisis Kesalahan Berbahasa dalam Bidang Morfologi
Kesalahan berbahasa dalam bidang morfologi sebagian besar berkaitan dengan bahasa tulis. Kesalahan berbahasa dalam bahasa tulis ini berkaitan juga dengan bahasa lisan apalagi bila kesalahan berbahasa dalam penulisan morfologi itu dibacakan. Kesalahan berbahasa dalam bidang morfologi disebabkan oleh berbagai hal. Kesalahan berbahasa bidang morfologi dapat dikelompokkan menjadi kelompok afiksasi, reduplikasi, dan gabungan kata atau kata majemuk.
Kesalahan berbahasa dalam tataran afiksasi dapat disebabkan oleh berbagai hal. Pertama, kesalahan berbahasa karena salah menentukan bentuk asal. Misalnya bentuk gramatik himbau, lola, lanjur, lunjur dianggap sebagai bentuk asal. Padahal bentuk asal yang benar adalah imbau, kelola, anjur, unjur. Kedua, fonem yang seharusnya luluh dalam proses afiksasi tidak diluluhkan. Misalnya fonem /t/ dalam kata terjemah dan tertawa atau fonem /t/ dalam kata terjemah dan tertawa atau fonem /s/ dalam kata sukses. Ketiga, fonem yang seharusnya tidak luluh dalam proses afiksasi justru diluluhkan. Misalnya fonem /f/ dalam kata fitnah atau fonem /c/ dalam kata cuci atau cinta. Keempat, penulisan klitika yang tidak tepat, penulisan kata depan yang tidak tepat, dan penulisan partikel yang tidak tepat.

Kesalahan berbahasa dalam tataran reduplikasi disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, kesalahan berbahasa disebabkan kesalahan dalam menentukan bentuk dasar yang diulang. Misalnya bentuk gramatik mengemasi diulang menjadi mengemas-kemasi yang seharusnya mengemas-ngemasi. Kedua, kesalahan berbahasa terjadi karena bentuk dasar yang diulang seluruhnya hanya sebahagian yang diulangi. Misalnya bentuk gramatik kaki tangan diulang menjadi kaki-kaki tangan yang seharusnya diulang seluruhnya, yakni kaki tangan-kaki tangan. Ketiga, kesalahan berbahasa terjadi karena menghindari perulangan yang terlalu panjang. Misalnya bentuk gramatik orang tua bijaksana diulang hanya sebagian yakni, orang-orang tua bijaksana. Seharusnya perulangannya penuh, yakni orang tua bijaksana-orang tua bijaksana.

Selanjutnya, kesalahan berbahasa dalam pembentukan kata atau kata majemuk berhubungan dengan penggabungan, pengulangan, dan afiksasi. Gabungan kata yang seharusnya serangkai dituliskan tidak serangkai, misalnya matahari (serangkai) dituliskan tidak serangkai, yakni mata hari. Inilah penyebab pertama kesalahan berbahasa dalam tataran kata majemuk atau gabungan kata. Kedua, kesalahan berbahasa terjadi karena kata majemuk yang seharusnya ditulis terpisah, sebaliknya ditulis bersatu. Misalnya kata majemuk yang ditulis bersatu adalah rumahsakit, tatabahasa, dan matapelajaran yang seharusnya ditulis terpisah seperti berikut rumah sakit, tata bahasa, dan mata pelajaran. Ketiga, kesalahan berbahasa terjadi karena kata majemuk yang sudah berpadu benar yang kalau diulang maka harus diulang seluruhnya. Ternyata dalam penggunaan bahasa hanya sebagian yang diulang. Misalnya, segi-segitiga, mata-matahari, dan bumi-bumiputra dituliskan secara lengkap menjadi segitiga-segitiga, matahari-matahari, dan bumiputra-bumiputra. Keempat, kesalahan berbahasa terjadi karena proses prefiksasi atau sufiksasi dianggap menyatukan penulisan kata majemuk yang belum padu. Misalnya proses afiksasi ber- pada kata majemuk bertanggungjawab seharusnya ditulis bertanggung jawab.

  1. Pendekatan Analisis Kesalahan Berbahasa
Analisis kesalahan berbahasa mendasarkan prosedur kerja kepada data yang aktual dan masalah yang nyata. Analisis kesalahan berbahasa merupakan prosedur kerja dalam mengkaji kesalahan berbahasa yang meliputi: mengenali data yang mengandung kesalahan berbahasa, mengelompokkan jenis kesalahan tersebut, dan selanjutnya menjelaskan kesalahan yang ditemukan, serta menemukan pola kesalahan berdasarkan sumber-sumber tersebut.

Analisis kesalahan berbahasa memiliki beberapa pendekatan. Pendekatan tersebut tergantung pada konsentrasi peneliti yang melakukan analisis kesalahan berbahasa. Beberapa pendekatan tersebut, antara lain: pendekatan siasat permukaan, pendekatan linguistik, pendekatan komparatif, dan pendekatan efek komunikasi.
Pendekatan pertama merupakan pendekatan siasat permukaan (surface strategy). Pendekatan siasat permukaan  merupakan pendekatan analisis kesalahan berbahasa yang menyoroti tentang cara-cara stuktur-struktur permukaan bahasa berubah. Saat peserta didik melakukan kesalahan berbahasa, mereka biasa melakukan hal-hal, seperti: (1) menghindarkan/menghilangkan butir-butir penting; (2) menambah sesuatu yang tidak perlu; (3) salah memformasikan butir-butir; dan (4) salah menyusun butir-butir tersebut. Kelebihan dari pendekatan siasat permukaan adalah pengenalan terhadap proses-proses kongnitif yang mendasari rekontruksi peserta didik mengenai bahasa yang sedang dipelajari.

 Pendekatan kedua adalah pendekatan linguistik. Pendekatan ini melakukan fokus kajian terhadap unsur-unsur linguistik, yakni fonologi, sintaksis dan morfologi (tata bahasa gramatikal), semantik dan leksikon (makna dan kosakata), dan wacana. Penelitian ini memilih pendekatan ini sebagai pendekatan dalam melakukan analisis kesalahan berbahasa.
Pendekatan ketiga dalam analisis kesalahan berbahasa adalah pendekatan komparatif. Pendekatan ini melakukan perbandingan antara aspek-aspek yang terdapat antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain. Umumnya, pendekatan ini membandingkan antara bahasa kedua (bahasa yang sedang dipelajari) dengan bahasa pertama/bahasa ibu (bahasa yang telah dikuasai) peserta didik. Pendekatan ini meliputi kesalahan perkembangan, kesalahan antarbahasa, kesalahan taksa, dan kesalahan lainnya.

Pendekatan efek komunikasi merupakan pendekatan keempat dalam analisis kesalahan berbahasa. Jika pendekatan siasat permukaan dan komparatif memusatkan perhatian pada aspek-aspek kesalahan, maka pendekatan efek komunikatif memandang serta menghadapi kesalahan-kesalahan dari perspektif efeknya terhadap penyimak atau pembaca. Berdasarkan terganggu atau tidaknya komunikasi karena kesalahan-kesalahan yang ada, terdapat dua jenis kesalahan, yakni kesalahan global (global errors)  dan kesalahan lokal (local errors).

Andi (2011: 24) menjelaskan bahwa kesalahan Global adalah kesalahan yang mempengaruhi keseluruhan organisasi kalimat sehingga benar-benar menggangu komunikasi. Karena luasnya cakupan sintatik kesalahan-kesalahan serupa itu, Burt dan Kiparsky menyebut kategori ini kesalahan global. Kesalahan lokal adalah kesalahan yang mempengaruhi sebuah unsur dalam kalimat yang biasanya tidak menggangu komunikasi secara signifikan. Burt dan Kiparsky menyarankan bahwa perbedaan antara kesalahan gobal dan lokal merupakan kriteria yang paling persuasif, yang paling ampuh buat menentukan kepentingan komunikatif.

  1. Penyebab Kesalahan Berbahasa
Bahasa Indonesia diajarkan sebagai bahasa kedua dalam proses pembelajaran di berbagai jenjang pendidikan di Indonesia. Sebagian besar peserta didik memiliki bahasa ibu atau bahasa pertama yang bukan bahasa Indonesia, misalnya, bahasa Jawa, Batak, Sunda, dan sebagainya. Banyak pendapat yang menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi pembelajaran bahasa kedua sehingga dapat menyebabkan kesalahan berbahasa.
Setyawati (2010: 15-16) menyebutkan bahwa ada tiga kemungkinan yang menjadi penyebab seseorang dapat melakukan kesalahan dalam berbahasa. Tiga kemungkinan tersebut dijelaskan sebagai berikut.
1)      Terpengaruhi bahasa yang lebih dahulu dikuasainya Bahasa yang lebih dahulu dikuasai dapat menyebabkan terjadinya interferensi kepada bahasa yang sedang dipelajari si pembelajar. Dalam hal ini, sumber kesalahan terletak pada perbedaan sistem lingustik bahasa pertama (B1) dengan sistem linguistik bahasa kedua (B2).
2)      Kekurangpahaman pemakai bahasa terhadap bahasa yang dipakainya. Penulis melakukan kesalahan berbahasa karena salah menerapkan kaidah bahasa.
3)      Pengajaran bahasa yang kurang tepat atau kurang sempurna. Hal ini berkaitan dengan bahan yang diajarkan atau yang dilatihkan dan cara pelaksanaan pengajaran.

Sementara itu, Brown (2000: 224-227) menyatakan bahwa kesalahan berbahasa bersumber pada: (1) transfer antarbahasa, (2) interferensi bahasa, (3) konteks pembelajaran, dan (4) strategi komunikasi. Di sisi lain, Richards (1974: 5) menyatakan bahwa telah banyak penelitian yang mengemukakan mengenai faktor-faktor yang dapat memengarui kesalahan berbahasa, terutama bagi peserta didik yang sedang belajar bahasa kedua. Richards mengemukakan tujuh faktor yang memengaruhi saat seseorang memelajari bahasa kedua. Faktor-faktor tersebut diuraikan dalam penjelasan berikut.

Faktor pertama adalah language transfer atau transfer bahasa. Faktor ini menyebutkan bahwa perbedaan antara bahasa yang dipelajari dengan bahasa pertama atau bahasa ibu akan menyebabkan kesalahan berbahasa. Perbedaan tersebut dapat berupa perbedaan yang mendasar. Analisis konstraktif dapat dilakukan untuk mengetahui seberapa besar perbedaan antara bahasa ibu dengan bahasa kedua yang sedang dipelajari.

Faktor kedua adalah intralingual interference atau interferensi antarbahasa. Richard (1974: 6) menulis “He found systematic intralingual errors to involve overgeneralization, ignorance of rule restrictions, incomplete application of rules, and semantic errors (Ia menemukan kesalahan intralingual sistematis untuk melibatkan generalisasi yang berlebihan, ketidaktahuan aturan pembatasan, aplikasi yang tidak lengkap aturan, dan kesalahan semantik).” Pernyataan tersebut menegaskan bahwa kesalahan sistematika antarbahasa dapat menyebabkan anggapan yang salah dan kesalahan makna.

Sementara itu, Corder (1974a: 163) juga menyatakan “in contradiction, what I am calling idiosyncratic sentences, which involve no failure in perfomance and which cannot be corrected by the learner precisely because they follow the only rule known to him, those of his transitional dialect (bertentangan dengan hal tersebut, yang saya sebut sebagai idiosinkratik, yang melibatkan tidak adanya kesalahan dan yang tidak dapat dikoreksi dengan pelajar justru karena mereka mengikuti aturan yang hanya diketahuinya, hal tersebut merupakan dialek transisinya).” Pendapat tersebut menjelaskan bahwa hal yang disebut dengan idiosinkratik atau hal-hal yang sama antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain dapat mengakibatkan kegagalan atau kesalahan berbahasa yang tidak dapat dikoreksi atau diperbaiki oleh peserta didik sendiri karena mereka hanya menggunakan aturan berbahasa yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik.

Proses belajar bahasa kedua akan membuat seorang peserta didik mendapatkan aturan yang baru dari bahasa yang mereka pelajari. Pengetahuan baru tersebut akan dikombinasikan dengan aturan bahasa pertama yang telah mereka miliki sebelumnya. Jika peserta didik belum memiliki pemahaman yang utuh serta kemampuan yang maksimal dalam mengaplikasikan bahasa kedua, hal tersebut akan mengakibatkan terjadinya interferensi bahasa sehingga aturan bahasa akan terkesan tumpang tindih.

Faktor ketiga adalah situasi sosiolinguistik (sociolingistic situation). Richard (1974: 6) menyatakan “Different settings for language use result in different degrees and types of language (Latar yang berbeda dalam berbahasa akan menyebabkan tingkatan dan tipe yang berbeda dalam berbahasa).” Pendapat ini didukung oleh Jain (1974: 199) yang menyatakan bahwa situasi sosiolinguistik akan turut berperan dalam berbahasa. Lebih lanjut, Jain menyatakan bahwa situasi sosilinguistik tersebut juga dapat memengaruhi strategi pembelajaran bahasa kedua.

Faktor keempat dan kelima adalah modalitas dan usia. Mengenai modalitas, Richards (1974: 8) menyatakan bahwa terkadang proses produksi dan pemahaman terhadap bahasa dapat mengalami hal yang tumpang tindih. Hal tersebut dapat disebabkan karena peserta didik yang sedang belajar masih sangat dipengaruhi oleh bahasa ibunya saat mempraktikkan bahasa kedua. “People often report instances of intrusion of elements of their mother tongue in speech production (Orang-orang sering menggunakan unsur-unsur bahasa ibunya dalam memproduksi ujaran).” Modalitas merupakan hal-hal yang menghubungkan antarkata.

Faktor usia berhubungan dengan kemampuan yang masih berada dalam tahap tinggi saat seseorang belajar bahasa pada usia anak-anak dan semakin mengalami penurunan kemampuan ketika seseorang semakin dewasa. Richard (1974: 9) menyatakan:
“The child’s memory span increases with age. He acquires a greater number of abstract concepts, and he uses these to interpret his experience. Lennenberg (1967) notes a period of primary language acquisition, postulated to be biologically determined, beginning when the child starts to walk and continuing until puberty.”

“Rentang memori anak meningkat dengan bertambahnya usia. Dia memperoleh lebih banyak konsep abstrak, dan dia menggunakan ini untuk menafsirkan pengalamannya. Lennenberg (1967) mencatat jangka waktu penguasaan bahasa primer, sesuai dengan pekembangan biologi, dimulai ketika anak mulai berjalan dan berlanjut sampai masa pubertas.”

Kutipan tersebut menegaskan bahwa pada usia anak-anak, seseorang akan lebih cepat menguasai konsep yang masih berupa abstrak (termasuk dalam berbahasa) untuk selanjutnya dimanfaatkan dalam menafsirkan pengalamannya. Bahkan, Lennenberg menyebut masa-masa tersebut ke dalam teori hipotesis umur kritis yang mendeskripsikan bahwa proses pemerolehan bahasa seorang anak mengalami masa keemasan sejak seorang anak mulai berjalan hingga ia mencapai masa pubertas.
Selanjutnya, Richards (1967: 11-13) menyebutkan bahwa faktor keenam dan ketujuh yang dapat memengaruhi penguasaan bahasa kedua adalah faktor pendekatan yang digunakan selama proses pembelajaran bahasa kedua dan tingkat kesulitan bahasa yang sedang dipelajari secara universal. Kedua faktor ini berhubungan dengan pendekatan pembelajaran yang digunakan selama pembelajaran bahasa kedua digunakan. Seorang guru harus dapat memilih pendekatan yang tepat untuk setiap bahasa kedua yang diajarkan.

Pemilihan pendekatan tersebut juga harus memerhatikan faktor psikologi peserta didik dan tingkat kesulitan yang terdapat dalam masing-masing bahasa. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Selinker (1974: 32) bahwa seseorang yang sedang belajar bahasa kedua tidak memiliki ambisi yang cukup kuat untuk menguasainya sehingga hal tersebut membuat proses pembelajaran menjadi kurang maksimal karena motivasi dari diri peserta didik juga kurang. Namun, pendekatan yang tepat akan membuat peserta didik menjadi lebih termotivasi untuk dapat menguasai bahasa kedua mereka. Selanjutnya, hal tersebut akan membuat peserta didik mendapatkan pembelajaran secara maksimal dan akan menghindari atau mengurangi tingkat kesalahan berbahasa yang mereka lakukan.

Hal yang senada juga diungkapkan oleh Jain (1974: 199) yang menyatakan bahwa strategi belajar merupakan salah satu faktor yang memengaruhi pembelajaran bahasa kedua. Masing-masing pembelajaran bahasa kedua memiliki strategi pembelajaran yang unik dan berbeda sehingga peserta didik akan mendapatkan pengalaman belajar yang berbeda sehingga proses pembelajaran bahasa kedua menjadi lebih bermakna.
Bertolak dari pendapat di atas, maka guru harus dapat menciptakan pertemuan antara teori dengan praktik mengajar. Jika guru sebagai pendidik memiliki dasar akademis yang kuat serta sikap bahasa yang baik, maka akan terjadi pembelajaran yang baik dan menghadirkan sumbangan yang positif terhadap pembelajaran bahasa di kelas.

Bangerter (2010: 3) mengemukakan strategi yang harus digunakan oleh pendidik atau instruktur dalam pembelajaran menulis dalam kutipan berikut.
“Students often fall short in their writing assignments because they fail to see writing as a recursive process of prewriting, drafting, revising, and editing. In addition, educators struggle to provide feedback on student writing and asses student writing throughout the process. Instructors need a tool to engage students throughout the writing process and to encourage good writing practices, such as collaboration and self-reflection. Instructors also need a tool to facilitate their assessments of writing in each stage.”

“Siswa sering gagal dalam tugas menulis karena mereka gagal untuk memandang menulis sebagai sebuah proses yang berkesinambungan dari prapenulisan, penyusunan, merevisi, dan mengedit. Selain itu, pendidik perlu untuk memberikan umpan balik mengenai tulisan siswa dan selama proses penulisan berlangsung. Pendidik memerlukan alat untuk melibatkan para siswa selama proses menulis dan mendorong siswa untuk melakukan praktik menulis yang baik, seperti kolaborasi dan refleksi diri. Pendidik juga memerlukan sebuah alat untuk memfasilitasi penilaian menulis mereka dalam setiap tahap.”

Kutipan di atas menegaskan bahwa seorang pendidik harus mampu memilih atau bahkan menciptakan strategi yang bagus dalam pembelajaran menulis agar siswa termotivasi dan berminat untuk menciptakan sebuah tulisan yang baik. Pendidik harus mampu menjelaskan kepada siswa dengan cara yang tepat bahwa menulis bukanlah sebuah hal yang instan untuk dikuasai karena merupakan sebuah proses yang membutuhkan tahap-tahap tertentu, seperti tahap prapenulisan, drafting, revisi, dan pengeditan untuk menciptakan sebuah tulisan yang baik.
Strategi tersebut dapat juga dilengkapi dengan media yang tepat agar pembelajaran menulis yang dilakukan akan lebih bermakna bagi siswa. Bahkan proses refleksi, baik secara kelompok maupun pribadi juga dapat dilakukan di antara siswa agar siswa bisa mendapatkan banyak saran dari proses tersebut. Proses tersebut dapat digunakan oleh pendidik sebagai pedoman dalam memberikan umpan balik (feedback).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar