Analisis
Kesalahan Berbahasa
Tutut Dwi Handayani. M.Pd
ABSTRAK
Tujuan
penelitian adalah mengetahui dan mendeskripsikan: (1) bentuk kesalahan
berbahasa yang ditemukan dalam tesis mahasiswa nonpendidikan Bahasa Indonesia
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret;
(2) persebaran
kesalahan berbahasa yang ditemukan dalam tesis mahasiswa nonpendidikan Bahasa
Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret; dan (3) faktor-faktor yang menjadi penyebab kesalahan
berbahasa dalam tesis mahasiswa nonpendidikan Bahasa Indonesia Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
Penelitian
ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif.
Penelitian dilaksanakan pada tesis mahasiswa program studi nonpendidikan bahasa
Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
teknik analisis dokumen dan wawancara yang dilakukan kepada mahasiswa penulis
tesis. Teknik cuplikan yang digunakan adalah metode purposive sampling.
Berdasarkan
hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Bentuk kesalahan berbahasa yang ditemukan dalam tesis
mahasiswa Program Studi Nonpendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana UNS berupa
kesalahan ejaan, kesalahan diksi, kesalahan kalimat, dan kesalahan paragraf. (2) Persebaran kesalahan berbahasa yang ditemukan dalam
tesis mahasiswa Program Studi Nonpendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana UNS
adalah: (a) Kesalahan dalam
bidang ejaan sebesar 2246 (57,31%) yang terdiri dari: kesalahan penggunaan
huruf huruf kapital sebanyak 536; penggunaan huruf miring sebanyak 147;
penggunaan huruf tebal sebanyak 23; penulisan partikel sebanyak 2; penggunaan
tanda koma sebanyak 983; penggunaan tanda titik sebanyak 363; dan penggunaan
kata depan sebanyak 192. (b) Kesalahan
berbahasa dalam bidang diksi sebesar 1148 (29,29%), terdiri dari: kesalahan
penulisan kata turunan sebanyak 2; gabungan kata sebanyak 28; kebakuan kata
sebanyak 297; konjungsi sebanyak 497; dan ketepatan kata sebanyak 324. (c) Kesalahan
berbahasa dalam bidang kalimat sebesar 418 (10,67%), terdiri dari; kesalahan
kesatuan gagasan sebanyak 149; kepaduan kalimat sebanyak 242; dan kelogisan
kalimat sebanyak 27. (d) Kesalahan berbahasa dalam bidang paragraf sebesar 107
(2,73%). (3) Faktor utama yang menjadi penyebab kesalahan berbahasa
dalam tesis mahasiswa program studi nonpendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana
UNS adalah penguasaan kaidah
bahasa Indonesia yang kurang memadai. Selain itu, faktor-faktor lain yang menjadi penyebab
kesalahan berbahasa, antara lain: (a) perhatian
terhadap tata bahasa Indonesia yang masih kurang, (b) interferensi
bahasa pertama dan bahasa asing, dan (c) motivasi dan sikap bahasa yang masih
kurang.
Kata kunci:
analisis kesalahan berbahasa, tesis, karya ilmiah.
A. Tinjauan Analisis Kesalahan Berbahasa
1. Hakikat Analisis Kesalahan Berbahasa
Bahasa
Indonesia memiliki dua kedudukan, yakni sebagai bahasa nasional dan bahasa
negara. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki fungsi sebagai
lambang kebanggaan nasional, lambang identitas nasional, alat pemersatu
berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial, budaya, dan
bahasa, dan alat perhubungan antarbudaya dan daerah. Sedangkan sebagai bahasa
negara, bahasa Indonesia memiliki fungsi sebagai bahasa resmi negara, bahasa
pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan, bahasa resmi dalam perhubungan
tingkat nasional, dan bahasa resmi dalam kebudayaan dan pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern (Amran: 1976: 145). Keanekaragaman fungsi bahasa
Indonesia tersebut menghadirkan ragam bahasa atau variasi pemakaian bahasa yang
antara lain dapat berdasarkan pada sarana, suasana, norma pemakaian, daerah,
dan bidang penggunaan bahasa.
Bertolak
pada fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa negara di atas, maka setiap tulisan
yang bertujuan untuk menyebarkan ilmu pengetahuan harus menggunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar. Tulisan-tulisan yang dimaksud, misalnya makalah,
jurnal, kertas kerja, artikel, skripsi, tesis, dan disertasi. Sedangkan ragam
bahasa yang digunakan adalah ragam ilmu.
Ragam ilmu
adalah variasi penggunaan bahasa yang digunakan oleh para cerdik pandai dan
kaum terpelajar. Sebagai ragam ilmu, bahasa Indonesia memiliki beberapa sifat.
Wilardjo (2003: 150) menyatakan bahwa ragam keilmuan memiliki ciri-ciri, antara
lain: (1) mantap secara dinamis dan cendekia, (2) jelas dan saksama, (3) hemat
dan ratah (sederhana), (4) objektif, (5) panggah (logis), (6) lengkap, (7)
tersusun dan terpumpun (fokus), (8) memanfaatkan istilah, tata nama, lambang,
grafik, dan sebagainya, (9) membatasi penggunaan majas dan lebih banyak memakai
gaya tertentu. Sementara itu, Setyawati (2010: 6) menyebutkan tiga ciri yang
menandakan bahasa Indonesia sebagai ragam ilmu, yaitu (1) kemantapan dinamis
yang berupa kaidah dan aturan yang tetap, (2) bersifat kecendekiaan, dan (3)
adanya penyeragaman kaidah.
Kemantapan
dinamis membuat ketetapan yang ada tidak bersifat kaku, tetapi luwes. Hal
tersebut memungkinkan perubahan yang tersistem dan teratur di bidang kosakata dan
peristilahan, serta mengizinkan perkembangan berjenis ragam yang menjadi
kebutuhan dalam kehidupan modern. Bersifat kecendekiaan artinya ragam bahasa
ilmu digunakan untuk mengkomunikasikan ilmu. Sedangkan adanya penyeragaman
kaidah membuat adanya penyeragaman variasi bahasa untuk menyamakan persepsi
atas suatu bahasa ke dalam bahasa Indonesia.
Penyeragaman
variasi bahasa ke dalam bahasa Indonesia dinilai perlu karena hakikat ragam
ilmu yang dibaca oleh khalayak. Kesalahpahaman, ketidakjelasan, atau kerancuan
dapat terjadi seandainya karya-karya ilmiah yang berfungsi untuk
mengomunikasikan ilmu masih banyak yang menggunakan bahasa daerah tertentu yang
dapat saja memiliki makna berbeda bagi daerah lain.
Hakikatnya,
tidak ada satu bahasa yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada bahasa lain.
Indonesia yang memiliki bahasa daerah dengan jumlah yang begitu banyak
membutuhkan satu bahasa untuk melancarkan komunikasi yang terjadi antardaerah.
Bahasa Indonesia memegang peranan penting di dalamnya.
Beberapa permasalahan
dapat terjadi karena penggunaan bahasa yang berbeda. Misalnya, kesalahpahaman
yang terjadi antara orang Solo dengan Surabaya jika keduanya tidak saling
memahami ragam bahasa yang digunakan masing-masing. Benar tidaknya bahasa yang
digunakan seseorang ditentukan oleh orang yang berbahasa itu, bukan oleh bahasa
itu sendiri. Karena itulah, terdapat imbauan mengenai penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan benar.
Setyawati
(2010: 10) menjelaskan bahwa berbahasa Indonesia yang baik dan benar adalah
berbahasa Indonesia yang sesuai dengan faktor-faktor penentu berkomunikasi dan
benar dalam penerapan aturan kaidahnya. Atas dasar konsep tersebut, dapat
dibuat simpulan bahwa yang dimaksud dengan berbahasa Indonesia yang baik belum
dapat diartikan dengan berbahasa Indonesia yang benar dan begitu pula
sebaliknya. Maka, untuk dapat berbahasa Indonesia yang baik dan benar, harus
diperhatikan situasi pemakaian dan kaidah yang digunakan.
Penguasaan
terhadap situasi pemakaian dan kaidah bahasa seseorang akan mengurangi adanya
kesalahan berbahasa yang dilakukan. Jika hal tersebut dikaitkan dengan bahasa
Indonesia sebagai ragam ilmu, maka penguasaan kaidah bahasa Indonesia merupakan
persyaratan yang harus dipenuhi oleh kaum cendekiawan, termasuk mahasiswa.
Mahasiswa
merupakan kaum terpelajar yang harus menguasai bahasa Indonesia sebagai ragam
ilmu karena berhubungan dengan sarana yang digunakan mereka untuk menyampaikan
ide, pengetahuan, dan pengalaman. Bahasa Indonesia sebagai ragam ilmu juga
diaplikasikan dalam setiap suasana pembelajaran di kelas. Artinya, bukan
sekadar bahasa dalam bentuk lisan, tetapi juga dalam bentuk tulisan. Akan
tetapi, fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak kesalahan berbahasa
yang dilakukan oleh kaum cendekiawan tersebut sehingga membuat tujuan
pembelajaran bahasa tidak tercapai dengan maksimal. Hal tersebut misalnya
terlihat dalam hasil karya tulis ilmiah mahasiswa.
Namun,
meskipun kesalahan berbahasa dapat menyebabkan beberapa kerugian, Norish (1983:
6) menyatakan bahwa kesalahan berbahasa juga memiliki peran penting dalam
proses pembelajaran berbahasa. “Some good pedagogical reasons have been
suggested for regarding errors made by learners of foreign language leniently,
but the most important reason is that the error itself may actually be a
necessary part of learning a language (Beberapa alasan pedagogis telah
dikemukakan mengenai kesalahan yang dibuat oleh peserta didik dari bahasa
asing, tetapi alasan yang paling penting adalah bahwa kesalahan tersebut
sebenarnya dapat menjadi bagian penting dalam pembelajaran bahasa).” Pernyataan
tersebut menegaskan bahwa kesalahan berbahasa yang dialami peserta didik dapat
dijadikan alat bantu yang positif dalam pembelajaran karena dapat digunakan
untuk mencapai tujuan pembelajaran bahasa.
Beberapa
istilah muncul dalam penggunaan bahasa Indonesia sebagai ragam ilmu. Istilah
salah dan keliru atau kesalahan dan kekeliruan membentuk kerancuan dalam makna.
Kesalahan dan kekeliruan merupakan dua kata yang bersinonim. Istilah kesalahan
(error) dan kekeliruan (mistake) dalam pengajaran bahasa
merupakan penyimpangan dalam pemakaian bahasa.
Kedua
istilah tersebut harus dijelaskan terlebih dahulu untuk membuat persepsi yang
seragam.
Mengenai
hal tersebut, Corder (1974b: 25) menyatakan:
“It will be
useful therefore hereafter to refer to errors of performance as mistakes,
reserving the term error to refer to the systematic errors of the learner from
which we are able to reconsrusct his knowledge of the language to date, i.e.
his transitional competence.”
“Hal
tersebut akan bermanfaat karena selanjutnya dapat digunakan untuk merujuk pada
kesalahan kinerja sebagai kekeliruan, sedangkan istilah kesalahan digunakan
untuk merujuk pada kesalahan sistematis dari peserta didik dari yang bisa kita
rekonstruksi pengetahuannya tentang bahasa sampai saat ini, yaitu kompetensi
transisinya.”
Pada
bagian lain, Corder menyebutkan bahwa kekeliruan dapat diperbaiki sendiri,
tetapi tidak dengan kesalahan. Kesalahan bersifat sistematik dan terjadi secara
berulang-ulang serta tidak dikenali oleh siswa. Hal tersebut hanya diketahui
oleh guru atau peneliti.
Lebih
lanjut, Corder mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan kesalahan berbahasa
adalah pelanggaran terhadap kode berbahasa. Pelanggaran ini bukan hanya
bersifat fisik, melainkan juga merupakan tanda kurang sempurnanya pengetahuan
dan penguasaan terhadap kode. Si pembelajar bahasa belum menginternalisasikan
kaidah bahasa (kedua) yang dipelajarinya. Dikatakan oleh Corder, bahwa baik
penutur asli maupun bukan penutur asli sama-sama mempunyai kemungkinan berbuat
kesalahan berbahasa.
Sementara
itu, Brown (2000: 221) menyatakan:
“Error
analysis can keep us too closely focused on specific languages rather than
viewing universal aspects of language. Gass (1989) recommended that researchers
pay more attention to linguistic elements that are common to all languages.”
“Analisis
kesalahan dapat membuat kita terlalu fokus pada bahasa tertentu daripada
terhadap aspek universal bahasa. Gass (1989) menyarankan bahwa peneliti
seharusnya lebih memperhatikan unsur-unsur linguistik yang umum untuk semua
bahasa.”
Kedua
pendapat di atas memberikan batasan yang jelas terhadap kajian yang dilakukan
dalam analisis kesalahan berbahasa dapat membuat peneliti terlalu fokus pada
hal-hal spesifik yang membedakan antara bahasa satu dengan bahasa lainnya.
Seharusnya, kajian tersebut dilakukan pada hal-hal yang umum yang menjadi
perbedaan mendasar pada bahasa-bahasa yang ada di semesta.
Corder
dalam Indihadi (2009: 2-3) menggunakan 3 (tiga) istilah untuk membatasi
kesalahan berbahasa: (1) Lapses, (2) Error, dan (3) Mistake. Penjelasan dari ketiga istilah
yang digunakan Corder adalah sebagai berikut.
1)
Lapses
Lapses
adalah kesalahan berbahasa akibat penutur beralih cara untuk
menyatakan sesuatu sebelum seluruh tuturan (kalimat) selesai dinyatakan
selengkapnya. Untuk berbahasa lisan, jenis kesalahan ini diistilahkan dengan slip of the tongue sedang untuk berbahasa
tulis, jenis kesalahan ini diistilahkan slip
of the pen. Kesalahan ini terjadi akibat ketidaksengajaan dan tidak disadari oleh penuturnya.
2)
Error
Error
adalah kesalahan berbahasa akibat penutur melanggar kaidah atau aturan tata
bahasa (breaches of code). Kesalahan
ini terjadi akibat penutur sudah memiliki aturan (kaidah) tata bahasa yang
berbeda dari tata bahasa yang lain, sehingga itu berdampak pada
kekurangsempurnaan atau ketidakmampuan penutur. Hal tersebut berimplikasi
terhadap penggunaan bahasa, terjadi kesalahan berbahasa akibat penutur
menggunakan kaidah bahasa yang salah.
3)
Mistake
Mistake
adalah kesalahan berbahasa akibat penutur tidak tepat dalam memilih kata atau
ungkapan untuk suatu situasi tertentu. Kesalahan ini mengacu kepada kesalahan
akibat penutur tidak tepat menggunakan kaidah yang diketahui benar, bukan
karena kurangnya penguasaan bahasa kedua
(B2). Kesalahan terjadi pada produk tuturan yang tidak benar.
Sementara
itu, Tarigan dalam Indihadi (2009: 5) menjelaskan kesalahan berbahasa adalah
penggunaan bahasa yang menyimpang dari kaidah bahasa yang berlaku dalam bahasa
itu. Sedangkan kekeliruan adalah penggunaan bahasa yang menyimpang dari kaidah
bahasa yang berlaku dalam bahasa itu namun tidak dipandang sebagai suatu
pelanggaran berbahasa.
Perbedaan
antara kesalahan (error) dan
kekeliruan (mistake) menurut Tarigan
dalam Indihadi (2009: 6) disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 1. Perbandingan antara Kesalahan dan
Kekeliruan Berbahasa
No.
|
Kategori Sudut Pandang
|
Kesalahan (Error)
|
Kekeliruan (Mistake)
|
1.
|
Sumber
|
Kompetensi
|
Performansi
|
2.
|
Sifat
|
Sistematis
|
Tidak
sistematis
|
3.
|
Durasi
|
Agak
lama
|
Sementara
|
4.
|
Sistem
Linguistik
|
Belum
dikuasai
|
Sudah
dikuasai
|
5.
|
Hasil
|
Penyimpangan
|
Penyimpangan
|
6.
|
Perbaikan
|
Dibantu
oleh guru: latihan, pengajaran, remedial
|
Siswa
sendiri: pemusatan perhatian
|
Burt dan
Kiparsky dalam Indihadi (2009: 3) mengistilahkan kesalahan berbahasa itu dengan
goof, goofing, dan gooficon.
Istilah goof digunakan untuk
kesalahan berbahasa, yakni kalimat-kalimat atau tuturan yang mengandung
kesalahan, gooficon untuk menyebut
jenis kesalahan (sifat kesalahan) dari kegramatikaan atau tata bahasa,
sedangkan goofing adalah penyebutan
terhadap seluruh kesalahan tersebut,
goof, dan gooficon.
Lebih
lanjut, Indihadi (2009: 3) juga menyampaikan pendapat Huda yang mengistilahkan
kesalahan berbahasa itu dengan kekhilafan (error)
yang dialami oleh seorang anak yang sedang belajar dan memeroleh bahasa kedua.
Sementara itu, George (1972) mengemukakan bahwa kesalahan berbahasa adalah
pemakaian bentuk-bentuk tuturan yang tidak diinginkan (unwanted form) khususnya
suatu bentuk tuturan yang tidak diinginkan oleh penyusun program dan guru
pengajaran bahasa. Bentuk-bentuk tuturan yang tidak diinginkan adalah
bentuk-bentuk tuturan yang menyimpang dari kaidah bahasa baku.
Senada
dengan hal tersebut, Setyawati (2010: 15) menyatakan kesalahan berbahasa adalah
penggunaan bahasa, baik secara lisan maupun tertulis yang menyimpang dari
faktor-faktor penentu berkomunikasi atau menyimpang dari norma kemasyarakatan
dan menyimpang dari kaidah tata bahasa Indonesia. Pengertian tersebut
dirumuskan berdasarkan persepsi bahwa bahasa Indonesia yang baik belum tentu
benar dan sebaliknya.
Bertolak
dari pengertian kesalahan berbahasa di atas, maka dapat dibuat simpulan bahwa
kesalahan berbahasa adalah penyimpangan penggunaan bahasa yang dilakukan karena pengguna bahasa tidak
mematuhi kaidah bahasa, baik secara lisan maupun tertulis. Sedangkan analisis
kesalahan berbahasa adalah kajian yang difokuskan pada kesalahan berbahasa
berdasarkan penyimpangan kaidah bahasa yang berlaku dalam bahasa yang
bersangkutan. Kaidah tersebut meliputi ejaan tata bahasa baku bahasa Indonesia
dan norma kemasyarakatan yang berlaku.
Tarigan
dan Sulistyaningsih (1996: 24) menyatakan bahwa kesalahan berbahasa merupakan
bagian yang integral dari proses belajar mengajar bahasa. Hal tersebut
menegaskan bahwa kesalahan berbahasa merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari proses pemerolehan dan pengajaran bahasa. Setiap peserta didik pernah
melakukan kesalahan berbahasa. Hanya saja, peserta didik tidak tahu yang mereka
lakukan tersebut termasuk kesalahan (error)
atau kekeliruan (mistake).
2. Tujuan Analisis Kesalahan Berbahasa
Analisis
kesalahan berbahasa merupakan sebuah proses yang didasarkan pada analisis
kesalahan orang yang sedang belajar dengan objek bahasa yang sudah ditargetkan.
Bahasa yang ditargetkan tersebut dapat berupa bahasa ibu maupun bahasa nasional
dan bahasa asing (Setyawati, 2010: 18). Sementara itu, Ellis dalam Henry Guntur
Tarigan dan Djago Tarigan (1995: 68) menyatakan analisis kesalahan berbahasa
adalah suatu prosedur kerja yang biasa digunakan oleh para peneliti dan guru
bahasa yang meliputi pengumpulan sampel, pengidentifikasian kesalahan yang
terdapat dalam sampel, penjelasan kesalahan tersebut, pengklasifikasian
kesalahan berdasarkan penyebabnya, serta pengevaluasian atau penilaian taraf
keseriusan kesalahan tersebut.
Bertolak
dari pendapat tersebut, secara umum tujuan dari analisis kesalahan berbahasa
Indonesia dalam karya ilmiah adalah untuk mengetahui kemampuan peserta didik
(termasuk mahasiswa) dalam berbahasa Indonesia, khususnya bahasa tulis dalam
karya ilmiah dengan cara menentukan ciri-ciri, mengidentifikasi, menjelaskan,
mengklasifikasi, dan mengevaluasi secara sistematis kesalahan-kesalahan yang
telah dilakukan.
Corder
(1974b: 22-23) menyatakan bahwa kesalahan atau kekhilafan berbahasa bukanlah
semata-mata harus dihindari, melainkan fenomena yang dapat dipelajari. Oleh
karena itu, analisis kesalahan berbahasa memiliki beberapa tujuan, antara lain:
(1) sebagai umpan balik (feedback)
bagi guru dalam menentukan tujuan, bahan ajar, prosedur pengajaran serta
penilaian yang sudah dilaksanakannya; (2) sebagai bukti bagi peneliti
(penelitian) dalam mengetahui anak (siswa) memperoleh dan mempelajari bahasa;
dan (3) sebagai input (masukan) penentuan sumber atau tataran unsur-unsur kesalahan
berbahasa pada anak (siswa) dalam proses
pemerolehan dan pembelajaran bahasa (dalam hal ini adalah bahasa kedua).
Tarigan
dalam Indihadi (2009: 24) kemudian mengemukakan bahwa analisis kesalahan
berbahasa dapat digunakan untuk memperbaiki lima komponen dalam proses belajar
mengajar bahasa. Komponen yang pertama adalah tujuan dalam pembelajaran bahasa.
Berhubungan dengan tujuan pembelajaran bahasa, analisis kesalahan berbahasa
dapat digunakan untuk merumuskan pembelajaran bahasa Indonesia yang baik dan
benar.
Komponen
kedua dalam pembelajaran bahasa yang dapat memanfaatkan analisis kesalahan
berbahasa adalah bahan ajar. Berhubungan dengan bahan ajar, analisis kesalahan
berbahasa dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam: (1) menyusun bahan
pembelajaran yang merupakan hasil penyempurnaan; (2) menentukan urutan
penyajian bahan pembelajaran berdasarkan hasil analisis kesalahan berbahasa;
(3) menetapkan penekanan bahan pembelajaran berdasarkan temuan interferensi
bahasa pertama (B1) siswa; (4) menyusun bahan pelatihan kemampuan siswa dalam
proses pemerolehan dan pembelajaran bahasa kedua; dan (5) memilih sumber bahan
pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan siswa.
Selanjutnya,
komponen ketiga yang dapat menggunakan hasil dari analisis kesalahan berbahasa
berkaitan dengan penyajian pembelajaran. Komponen ini berhubungan dengan
beberapa hal, yaitu: (1) pemilihan metode penyajian yang sesuai dengan tujuan
dan bahan ajar; (2) pemilihan metode yang memberi peluang kepada siswa untuk
proses pemerolehan dan pembelajaran bahasa kedua; dan (3) pengimplementasian
metode (penyajian) pembelajaran dengan strategi dan teknik yang menarik dan
bervariasi.
Komponen
keempat yang dapat memanfaatkan analisis kesalahan berbahasa berkaitan dengan
pemilihan media pembelajaran. Komponen ini memerhatikan beberapa hal, seperti
(1) pemilihan media pengajaran (pembelajaran) yang fungsional sesuai dengan
tujuan dan bahan ajar; (2) penyediaan alat-alat peraga; gambar atau diagram
yang diperlukan; dan (3) pelaksanakan
demonstrasi atau sosiodrama untuk melatih (membiasakan) siswa dalam berbahasa.
Komponen
yang terakhir adalah penilaian pembelajaran. Komponen ini dapat memanfaatkan
hasil analisis kesalahan berbahasa untuk beberapa hal, seperti: (1) merumuskan
kisi-kisi penilaian; (2) menyusun butir-butir penilaian yang sesuai dengan
tujuan dan bahan ajar; dan (3) merumuskan pedoman atau rambu-rambu menilai
keberhasilan dan ketidakberhasilan siswa, termasuk untuk program remedialnya.
Berdasarkan
uraian tujuan analisis kesalahan berbahasa di atas, maka lebih lanjut analisis
kesalahan berbahasa dapat digunakan guru untuk mencari dan menentukan landasan
pengajaran bahasa. Dengan begitu, pengajaran bahasa akan berlangsung secara
optimal dan pengajaran bahasa dapat memprediksi kesulitan dan kesalahan siswa
dalam berbahasa.
- Daerah
Analisis Kesalahan Berbahasa
Ruang
lingkup analisis kesalahan berbahasa tidak jauh berbeda dengan ruang lingkup
linguistik. Hal tersebut karena terdapat kaitan antara ilmu yang digunakan
sebagai dasar analisis kesalahan berbahasa, yaitu fonologi, morfologi,
sintaksis, dan semantik (Markhamah dan Atiqa, 2011: 56). Jadi, ruang lingkup
analisis kesalahan berbahasa berada pada tataran fonologi, morfologi,
sintaksis, dan semantik.
Analisis
kesalahan berbahasa pada tataran fonologi adalah analisis kesalahan yang
berhubungan dengan sistem fonem pada bahasa Indonesia. Setyawati (2010: 25)
mengungkapkan bahwa sebagian besar kesalahan berbahasa Indonesia dalam tataran
fonologi berkaitan dengan pelafalan. Bila kesalahan pelafalan tersebut dituliskan,
maka terjadilah kesalahan berbahasa dalam ragam tulis. kesalahan berbahasa yang
berada pada tataran fonologi, antara lain: perubahan fonem, penghilangan fonem,
penambahan fonem.
Selanjutnya,
mengenai kesalahan berbahasa pada tataran morfologi. Kesalahan berbahasa dalam
tataran morfologi dapat terjadi karena banyak hal. Antara lain disebabkan oleh
kesalahan dalam pemilihan afiks, penggunaan kata ulang, penyusunan kata
majemuk, dan pemilihan bentuk kata. Markhamah dan Atiqa (2011: 56) menjelaskan analisis
kesalahan berbahasa pada tataran morfologi merupakan kegiatan mengidentifikasi,
mengklasifikasi, dan menginterpretasi kesalahan pada bidang morfologi yang
berhubungan dengan penggunaan morfem, kata, dan semua derivasinya. Derivasi
dari morfem dan kata yang dimaksud adalah proses penambahan afiks (baik
prefiks, infiks, sufiks, maupun konfiks atau simulfiks), proses pengulangan
atau reduplikasi, dan penggabungan atau komposisi.
Sedangkan
analisis kesalahan berbahasa dalam tataran sintaksis merupakan kegiatan
mengidentifikasi, mengklasifikasi, dan menginterpretasi kesalahan pada bidang
sintaksis. Pada tataran ini, objek analisis adalah struktur kalimat, urutan
kata, koherensi (kepaduan), kelogisan, kevariasian, keserasian, dan lain-lain.
Kesalahan dalam tataran sintaksis berkaitan erat dengan kesalahan dalam tataran
morfologi karena kata-kata merupakan unsur dari kalimat.
Yang
terakhir adalah kesalahan dalam tataran semantik yang dapat berhubungan dengan
bahasa tulis maupun lisan. Kesalahan berbahasa dalam tataran semantik
menekankan pada penyimpangan makna, baik yang berkaitan dengan fonologi,
morfologi, maupun sintaksis. Jadi, jika
ada sebuah bunyi, bentuk kata, atau kalimat yang maknanya menyimpang dari makna
yang seharusnya, maka tergolong dalam kesalahan berbahasa semantik (Setyawati,
2010: 103).
Selain
pendapat di atas, Tarigan (1996: 48-49) mengelompokkan kesalahan berbahasa
dalam bahasa Indonesia ke dalam beberapa kelompok, yakni: (1) berdasarkan
tataran linguistik yang mengklasifikasikan kesalahan berbahasa di bidang
fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan wacana; (2) berdasarkan kegiatan
atau keterampilan berbahasa yang mengklasifikasikan kesalahan berbahasa dalam
kesalahan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis; (3) berdasarkan sarana
atau jenis bahasa yang digunakan yang mengklasifikasikan kesalahan berbahasa
menjadi kesalahan berbahasa lisan dan tertulis; (4) berdasarkan penyebab
kesalahan yang mengklasifikasikan kesalahan berbahasa akibat pengajaran dan
interferensi; dan (5) berdasarkan frekuensi terjadinya yang mengklasifikasikan
kesalahan berbahasa dalam frekuensi paling sering, sering, sedang, kurang, dan
jarang terjadi.
Hal lain
yang berhubungan dengan kesalahan berbahasa yang sering terdapat dalam
penulisan karya ilmiah adalah kesalahan penalaran yang membuat tulisan menjadi
rancu dan ambigu. Kesalahan tersebut dapat terjadi karena kesalahan dalam
penulisan ide ke dalam sebuah wacana. Secara fungsional, wacana digunakan untuk
mengekspresikan suatu tujuan atau proses sosial di dalam suatu konteks situasi
dan konteks kultural. Konsep ini membuat wacana menjadi domain ekspresi dan
potensi makna. Sementara itu, konteks situasi dan kultural merupakan sumber
makna (Santosa, 2010: 1).
Konteks
kultural adalah suatu sistem nilai dan norma yang merepresentasikan suatu
kepercayaan di dalam suatu kebudayaan. Sedangkan konteks situasi merupakan
lingkungan langsung yang berada di dalam penggunaan bahasa. Halliday dalam
Santosa (2010: 2) menyebutkan bahwa konteks situasi terdiri dari tiga aspek,
yakni medan (field), pelibat (tenor), dan sarana (mode).
Wacana
yang ditulis untuk kepentingan ilmiah harus lebih menekankan pada keteraturan
logika wacana agar ide yang disampaikan dapat sampai dengan sempurna. Logika
wacana merupakan realitas logikal yang menghubungkan antar-realitas pengalaman
di dalam suatu wacana yang dibangun melalui hubungan antarpengalaman di dalam
wacana. Logika di dalam sistem wacana bekerja di seluruh level kebahasaan yang
dimulai dari struktur grup, klausa, maupun wacana.
Artinya,
logika wacana harus dijaga mulai dari taraf terendah sampai tertinggi dalam
sebuah wacana. Hal tersebut harus dilakukan karena ide atau gagasan yang
disampaikan dalam sebuah wacana harus merupakan kumpulan-kumpulan satuan yang
saling mendukung dan mencapai satu puncak makna.
Logika
wacana diekspresikan melalui hubungan konjungtif, baik secara eksplisit maupun
implisit di dalam suatu wacana. Martin dan Rose dalam Santosa (2010: 8)
menyatakan bahwa logika ini mengekspresikan hubungan antarkejadian dan kualitas
atau menghubungkan dan mengorganisir argumen atau bukti di dalam suatu wacana.
Hubungan konjungtif yang menghubungkan kejadian dan kualitas disebut hubungan
konjungtif eksternal, sedangkan hubungan konjungtif yang mengorganisir argumen,
bukti, dan simpulan disebut hubungan konjungtif internal.
Makna
utama hubungan konjungtif di dalam logika wacana dapat dibedakan menjadi empat
macam, yakni penambahan, pembandingan, waktu, dan konsekuensi. Penggunaan
kata-kata yang dapat digunakan untuk menyampaikan masing-masing hubungan
konjungtif tersebut harus dilakukan dengan tepat agar tidak terjadi kerancuan
dalam logika wacana, terutama dalam tulisan yang mendeskripsikan penelitian
ilmiah.
- Model
Analisis Kesalahan Berbahasa
Model
analisis kesalahan berbahasa diperlukan untuk memudahkan dalam menganalisis
kesalahan berbahasa. Berikut ini disampaikan model analisis kesalahan berbahasa
yang disampaikan oleh Tarigan yang dikutip oleh Indihadi (2009: 27).
1)
Model Analisis Kesalahan Berbahasa dalam
Bidang Fonologi
Kesalahan
dalam bidang fonologi meliputi ragam bahasa lisan dan tulis. Kombinasi dari
kedua ragam bahasa tersebut akan menimbulkan aneka jenis kesalahan berbahasa.
Ada kesalahan berbahasa karena perubahan pengucapan fonem, penghilangan fonem,
penambahan fonem, salah meletakkan penjedaan dalam kelompok kata dan kalimat.
Selain itu, kesalahan berbahasa dalam bidang fonologi dapat pula disebabkan
oleh perubahan bunyi diftong menjadi bunyi tunggal atau fonem tunggal.
Ada
berbagai kesalahan berbahasa Indonesia dalam bidang fonologi. Dalam setiap
kesalahan berbahasa itu tersirat sebab atau penyebab kesalahan berbahasa
tersebut. Misalnya, kata akan diucapkan aken menunjukkan penyebab kesalahan
fonem /a/ diucapkan /e/. Kata keliru diucapkan keleru menunjukkan penyebab kesalahan fonem /i/ diucapkan /e/. Kata
kalau diucapkan kalo menunjukkan bahwa kesalahan berbahasa itu disebabkan bunyi
diftong /au/ diucapkan sebagai /o/.
Hal yang
hampir sama terdapat pula dalam pengucapan aktif
menjadi aktiv, variasi menjadi fariasi, ubah menjadi obah, stasiun
menjadi stasion, pantai
menjadi pante, dahsyat
menjadi dahsat. Penyebab lain dalam kesalahan berbahasa Indonesia pada
bidang fonologi ini adalah penghilangan atau penambahan fonem tertentu.
Misalnya, kata gaji, sila, dan biji diucapkan dan dituliskan menjadi gajih, silahkan, dan bijih (besi). Atau kata hilang, haus, dan hembus diucapkan dan dituliskan menjadi ilang, aus, dan embus.
Selain
itu, terdapat juga kesalahan mengenai penempatan jeda saat mengucapkan kelompok
kata atau kalimat. Kesalahan lain dalam penekanan kata dalam kalimat. Misalnya
tekanan kata dijatuhkan pada suku pertama setiap kata atau sebaliknya, tekanan
kata dalam kalimat dijatuhkan pada suku akhir setiap kata.
Pengucapan
dan penulisan tidak selalu sejalan dalam bahasa Indonesia. Hal ini terbukti
dalam pemenggalan kata. Bila bahasa ujaran yang dijadikan patokan maka kata belajar dapat dipenggal menjadi bela-jar, be-lajar, atau be-la-jar.
Ternyata pemenggalan itu salah. Seharusnya kata belajar dipenggal menjadi bel-ajar, bela-jar, atau be-a-jar.
Kata kelanjutan diucapkan kelan-ju-tan tetap pemenggalan atas suku
katanya adalah ke-lan-jut-an.
2)
Model Analisis Kesalahan Berbahasa dalam
Bidang Morfologi
Kesalahan
berbahasa dalam bidang morfologi sebagian besar berkaitan dengan bahasa tulis.
Kesalahan berbahasa dalam bahasa tulis ini berkaitan juga dengan bahasa lisan
apalagi bila kesalahan berbahasa dalam penulisan morfologi itu dibacakan.
Kesalahan berbahasa dalam bidang morfologi disebabkan oleh berbagai hal.
Kesalahan berbahasa bidang morfologi dapat dikelompokkan menjadi kelompok
afiksasi, reduplikasi, dan gabungan kata atau kata majemuk.
Kesalahan
berbahasa dalam tataran afiksasi dapat disebabkan oleh berbagai hal. Pertama,
kesalahan berbahasa karena salah menentukan bentuk asal. Misalnya bentuk
gramatik himbau, lola, lanjur, lunjur
dianggap sebagai bentuk asal. Padahal bentuk asal yang benar adalah imbau, kelola, anjur, unjur. Kedua,
fonem yang seharusnya luluh dalam proses afiksasi tidak diluluhkan. Misalnya
fonem /t/ dalam kata terjemah dan tertawa atau fonem /t/ dalam kata terjemah
dan tertawa atau fonem /s/ dalam kata sukses. Ketiga, fonem yang seharusnya
tidak luluh dalam proses afiksasi justru diluluhkan. Misalnya fonem /f/ dalam
kata fitnah atau fonem /c/ dalam kata cuci atau cinta. Keempat, penulisan
klitika yang tidak tepat, penulisan kata depan yang tidak tepat, dan penulisan
partikel yang tidak tepat.
Kesalahan
berbahasa dalam tataran reduplikasi disebabkan oleh beberapa hal. Pertama,
kesalahan berbahasa disebabkan kesalahan dalam menentukan bentuk dasar yang
diulang. Misalnya bentuk gramatik mengemasi diulang menjadi mengemas-kemasi yang seharusnya mengemas-ngemasi. Kedua, kesalahan
berbahasa terjadi karena bentuk dasar yang diulang seluruhnya hanya sebahagian
yang diulangi. Misalnya bentuk gramatik kaki
tangan diulang menjadi kaki-kaki
tangan yang seharusnya diulang seluruhnya, yakni kaki tangan-kaki tangan. Ketiga, kesalahan berbahasa terjadi karena
menghindari perulangan yang terlalu panjang. Misalnya bentuk gramatik orang tua bijaksana diulang hanya
sebagian yakni, orang-orang tua bijaksana.
Seharusnya perulangannya penuh, yakni orang
tua bijaksana-orang tua bijaksana.
Selanjutnya,
kesalahan berbahasa dalam pembentukan kata atau kata majemuk berhubungan dengan
penggabungan, pengulangan, dan afiksasi. Gabungan kata yang seharusnya
serangkai dituliskan tidak serangkai, misalnya matahari (serangkai) dituliskan tidak serangkai, yakni mata hari. Inilah penyebab pertama
kesalahan berbahasa dalam tataran kata majemuk atau gabungan kata. Kedua,
kesalahan berbahasa terjadi karena kata majemuk yang seharusnya ditulis
terpisah, sebaliknya ditulis bersatu. Misalnya kata majemuk yang ditulis
bersatu adalah rumahsakit, tatabahasa, dan
matapelajaran yang seharusnya ditulis
terpisah seperti berikut rumah sakit,
tata bahasa, dan mata pelajaran.
Ketiga, kesalahan berbahasa terjadi karena kata majemuk yang sudah berpadu benar
yang kalau diulang maka harus diulang seluruhnya. Ternyata dalam penggunaan
bahasa hanya sebagian yang diulang. Misalnya, segi-segitiga, mata-matahari, dan bumi-bumiputra dituliskan secara lengkap menjadi segitiga-segitiga, matahari-matahari, dan bumiputra-bumiputra. Keempat, kesalahan
berbahasa terjadi karena proses prefiksasi atau sufiksasi dianggap menyatukan
penulisan kata majemuk yang belum padu. Misalnya proses afiksasi ber- pada kata majemuk bertanggungjawab seharusnya ditulis bertanggung jawab.
- Pendekatan
Analisis Kesalahan Berbahasa
Analisis
kesalahan berbahasa mendasarkan prosedur kerja kepada data yang aktual dan
masalah yang nyata. Analisis kesalahan berbahasa merupakan prosedur kerja dalam
mengkaji kesalahan berbahasa yang meliputi: mengenali data yang mengandung
kesalahan berbahasa, mengelompokkan jenis kesalahan tersebut, dan selanjutnya
menjelaskan kesalahan yang ditemukan, serta menemukan pola kesalahan
berdasarkan sumber-sumber tersebut.
Analisis
kesalahan berbahasa memiliki beberapa pendekatan. Pendekatan tersebut
tergantung pada konsentrasi peneliti yang melakukan analisis kesalahan
berbahasa. Beberapa pendekatan tersebut, antara lain: pendekatan siasat
permukaan, pendekatan linguistik, pendekatan komparatif, dan pendekatan efek komunikasi.
Pendekatan
pertama merupakan pendekatan siasat permukaan (surface strategy). Pendekatan siasat permukaan merupakan pendekatan analisis kesalahan
berbahasa yang menyoroti tentang cara-cara stuktur-struktur permukaan bahasa
berubah. Saat peserta didik melakukan kesalahan berbahasa, mereka biasa
melakukan hal-hal, seperti: (1) menghindarkan/menghilangkan butir-butir
penting; (2) menambah sesuatu yang tidak perlu; (3) salah memformasikan
butir-butir; dan (4) salah menyusun butir-butir tersebut. Kelebihan dari
pendekatan siasat permukaan adalah pengenalan terhadap proses-proses kongnitif
yang mendasari rekontruksi peserta didik mengenai bahasa yang sedang
dipelajari.
Pendekatan kedua adalah pendekatan linguistik.
Pendekatan ini melakukan fokus kajian terhadap unsur-unsur linguistik, yakni
fonologi, sintaksis dan morfologi (tata bahasa gramatikal), semantik dan
leksikon (makna dan kosakata), dan wacana. Penelitian ini memilih pendekatan
ini sebagai pendekatan dalam melakukan analisis kesalahan berbahasa.
Pendekatan
ketiga dalam analisis kesalahan berbahasa adalah pendekatan komparatif.
Pendekatan ini melakukan perbandingan antara aspek-aspek yang terdapat antara
bahasa yang satu dengan bahasa yang lain. Umumnya, pendekatan ini membandingkan
antara bahasa kedua (bahasa yang sedang dipelajari) dengan bahasa
pertama/bahasa ibu (bahasa yang telah dikuasai) peserta didik. Pendekatan ini
meliputi kesalahan perkembangan, kesalahan antarbahasa, kesalahan taksa, dan
kesalahan lainnya.
Pendekatan
efek komunikasi merupakan pendekatan keempat dalam analisis kesalahan
berbahasa. Jika pendekatan siasat permukaan dan komparatif memusatkan perhatian
pada aspek-aspek kesalahan, maka pendekatan efek komunikatif memandang serta
menghadapi kesalahan-kesalahan dari perspektif efeknya terhadap penyimak atau
pembaca. Berdasarkan terganggu atau tidaknya komunikasi karena
kesalahan-kesalahan yang ada, terdapat dua jenis kesalahan, yakni kesalahan
global (global errors) dan
kesalahan lokal (local errors).
Andi
(2011: 24) menjelaskan bahwa kesalahan Global adalah kesalahan yang
mempengaruhi keseluruhan organisasi kalimat sehingga benar-benar menggangu
komunikasi. Karena luasnya cakupan sintatik kesalahan-kesalahan serupa itu,
Burt dan Kiparsky menyebut kategori ini kesalahan global. Kesalahan lokal
adalah kesalahan yang mempengaruhi sebuah unsur dalam kalimat yang biasanya
tidak menggangu komunikasi secara signifikan. Burt dan Kiparsky menyarankan
bahwa perbedaan antara kesalahan gobal dan lokal merupakan kriteria yang paling
persuasif, yang paling ampuh buat menentukan kepentingan komunikatif.
- Penyebab
Kesalahan Berbahasa
Bahasa
Indonesia diajarkan sebagai bahasa kedua dalam proses pembelajaran di berbagai
jenjang pendidikan di Indonesia. Sebagian besar peserta didik memiliki bahasa
ibu atau bahasa pertama yang bukan bahasa Indonesia, misalnya, bahasa Jawa,
Batak, Sunda, dan sebagainya. Banyak pendapat yang menjelaskan faktor-faktor
yang memengaruhi pembelajaran bahasa kedua sehingga dapat menyebabkan kesalahan
berbahasa.
Setyawati
(2010: 15-16) menyebutkan bahwa ada tiga kemungkinan yang menjadi penyebab
seseorang dapat melakukan kesalahan dalam berbahasa. Tiga kemungkinan tersebut
dijelaskan sebagai berikut.
1)
Terpengaruhi bahasa yang lebih dahulu
dikuasainya Bahasa yang lebih dahulu dikuasai dapat menyebabkan terjadinya
interferensi kepada bahasa yang sedang dipelajari si pembelajar. Dalam hal ini,
sumber kesalahan terletak pada perbedaan sistem lingustik bahasa pertama (B1)
dengan sistem linguistik bahasa kedua (B2).
2)
Kekurangpahaman pemakai bahasa terhadap bahasa
yang dipakainya. Penulis melakukan kesalahan berbahasa karena salah menerapkan
kaidah bahasa.
3)
Pengajaran bahasa yang kurang tepat atau
kurang sempurna. Hal ini berkaitan dengan bahan yang diajarkan atau yang
dilatihkan dan cara pelaksanaan pengajaran.
Sementara
itu, Brown (2000: 224-227) menyatakan bahwa kesalahan berbahasa bersumber pada:
(1) transfer antarbahasa, (2) interferensi bahasa, (3) konteks pembelajaran,
dan (4) strategi komunikasi. Di sisi lain, Richards (1974: 5) menyatakan bahwa
telah banyak penelitian yang mengemukakan mengenai faktor-faktor yang dapat
memengarui kesalahan berbahasa, terutama bagi peserta didik yang sedang belajar
bahasa kedua. Richards mengemukakan tujuh faktor yang memengaruhi saat seseorang
memelajari bahasa kedua. Faktor-faktor tersebut diuraikan dalam penjelasan
berikut.
Faktor
pertama adalah language transfer atau
transfer bahasa. Faktor ini menyebutkan bahwa perbedaan antara bahasa yang
dipelajari dengan bahasa pertama atau bahasa ibu akan menyebabkan kesalahan
berbahasa. Perbedaan tersebut dapat berupa perbedaan yang mendasar. Analisis
konstraktif dapat dilakukan untuk mengetahui seberapa besar perbedaan antara
bahasa ibu dengan bahasa kedua yang sedang dipelajari.
Faktor
kedua adalah intralingual interference
atau interferensi antarbahasa. Richard (1974: 6) menulis “He found systematic
intralingual errors to involve overgeneralization, ignorance of rule
restrictions, incomplete application of rules, and semantic errors (Ia
menemukan kesalahan intralingual sistematis untuk melibatkan generalisasi yang
berlebihan, ketidaktahuan aturan pembatasan, aplikasi yang tidak lengkap
aturan, dan kesalahan semantik).” Pernyataan tersebut menegaskan bahwa
kesalahan sistematika antarbahasa dapat menyebabkan anggapan yang salah dan
kesalahan makna.
Sementara
itu, Corder (1974a: 163) juga menyatakan “in contradiction, what I am calling
idiosyncratic sentences, which involve no failure in perfomance and which
cannot be corrected by the learner precisely because they follow the only rule
known to him, those of his transitional dialect (bertentangan dengan hal
tersebut, yang saya sebut sebagai idiosinkratik, yang melibatkan tidak adanya
kesalahan dan yang tidak dapat dikoreksi dengan pelajar justru karena mereka
mengikuti aturan yang hanya diketahuinya, hal tersebut merupakan dialek
transisinya).” Pendapat tersebut menjelaskan bahwa hal yang disebut dengan
idiosinkratik atau hal-hal yang sama antara bahasa yang satu dengan bahasa yang
lain dapat mengakibatkan kegagalan atau kesalahan berbahasa yang tidak dapat
dikoreksi atau diperbaiki oleh peserta didik sendiri karena mereka hanya
menggunakan aturan berbahasa yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik.
Proses
belajar bahasa kedua akan membuat seorang peserta didik mendapatkan aturan yang
baru dari bahasa yang mereka pelajari. Pengetahuan baru tersebut akan
dikombinasikan dengan aturan bahasa pertama yang telah mereka miliki
sebelumnya. Jika peserta didik belum memiliki pemahaman yang utuh serta
kemampuan yang maksimal dalam mengaplikasikan bahasa kedua, hal tersebut akan
mengakibatkan terjadinya interferensi bahasa sehingga aturan bahasa akan
terkesan tumpang tindih.
Faktor
ketiga adalah situasi sosiolinguistik (sociolingistic
situation). Richard (1974: 6) menyatakan “Different settings for language
use result in different degrees and types of language (Latar yang berbeda dalam
berbahasa akan menyebabkan tingkatan dan tipe yang berbeda dalam berbahasa).”
Pendapat ini didukung oleh Jain (1974: 199) yang menyatakan bahwa situasi
sosiolinguistik akan turut berperan dalam berbahasa. Lebih lanjut, Jain
menyatakan bahwa situasi sosilinguistik tersebut juga dapat memengaruhi
strategi pembelajaran bahasa kedua.
Faktor
keempat dan kelima adalah modalitas dan usia. Mengenai modalitas, Richards
(1974: 8) menyatakan bahwa terkadang proses produksi dan pemahaman terhadap
bahasa dapat mengalami hal yang tumpang tindih. Hal tersebut dapat disebabkan
karena peserta didik yang sedang belajar masih sangat dipengaruhi oleh bahasa
ibunya saat mempraktikkan bahasa kedua. “People often report instances of
intrusion of elements of their mother tongue in speech production (Orang-orang
sering menggunakan unsur-unsur bahasa ibunya dalam memproduksi ujaran).”
Modalitas merupakan hal-hal yang menghubungkan antarkata.
Faktor
usia berhubungan dengan kemampuan yang masih berada dalam tahap tinggi saat
seseorang belajar bahasa pada usia anak-anak dan semakin mengalami penurunan
kemampuan ketika seseorang semakin dewasa. Richard (1974: 9) menyatakan:
“The
child’s memory span increases with age. He acquires a greater number of
abstract concepts, and he uses these to interpret his experience. Lennenberg
(1967) notes a period of primary language acquisition, postulated to be
biologically determined, beginning when the child starts to walk and continuing
until puberty.”
“Rentang
memori anak meningkat dengan bertambahnya usia. Dia memperoleh lebih banyak
konsep abstrak, dan dia menggunakan ini untuk menafsirkan pengalamannya.
Lennenberg (1967) mencatat jangka waktu penguasaan bahasa primer, sesuai dengan
pekembangan biologi, dimulai ketika anak mulai berjalan dan berlanjut sampai
masa pubertas.”
Kutipan
tersebut menegaskan bahwa pada usia anak-anak, seseorang akan lebih cepat
menguasai konsep yang masih berupa abstrak (termasuk dalam berbahasa) untuk
selanjutnya dimanfaatkan dalam menafsirkan pengalamannya. Bahkan, Lennenberg
menyebut masa-masa tersebut ke dalam teori hipotesis umur kritis yang
mendeskripsikan bahwa proses pemerolehan bahasa seorang anak mengalami masa
keemasan sejak seorang anak mulai berjalan hingga ia mencapai masa pubertas.
Selanjutnya,
Richards (1967: 11-13) menyebutkan bahwa faktor keenam dan ketujuh yang dapat
memengaruhi penguasaan bahasa kedua adalah faktor pendekatan yang digunakan
selama proses pembelajaran bahasa kedua dan tingkat kesulitan bahasa yang
sedang dipelajari secara universal. Kedua faktor ini berhubungan dengan
pendekatan pembelajaran yang digunakan selama pembelajaran bahasa kedua
digunakan. Seorang guru harus dapat memilih pendekatan yang tepat untuk setiap
bahasa kedua yang diajarkan.
Pemilihan
pendekatan tersebut juga harus memerhatikan faktor psikologi peserta didik dan
tingkat kesulitan yang terdapat dalam masing-masing bahasa. Hal tersebut
seperti yang diungkapkan oleh Selinker (1974: 32) bahwa seseorang yang sedang
belajar bahasa kedua tidak memiliki ambisi yang cukup kuat untuk menguasainya
sehingga hal tersebut membuat proses pembelajaran menjadi kurang maksimal
karena motivasi dari diri peserta didik juga kurang. Namun, pendekatan yang
tepat akan membuat peserta didik menjadi lebih termotivasi untuk dapat
menguasai bahasa kedua mereka. Selanjutnya, hal tersebut akan membuat peserta
didik mendapatkan pembelajaran secara maksimal dan akan menghindari atau
mengurangi tingkat kesalahan berbahasa yang mereka lakukan.
Hal yang
senada juga diungkapkan oleh Jain (1974: 199) yang menyatakan bahwa strategi
belajar merupakan salah satu faktor yang memengaruhi pembelajaran bahasa kedua.
Masing-masing pembelajaran bahasa kedua memiliki strategi pembelajaran yang
unik dan berbeda sehingga peserta didik akan mendapatkan pengalaman belajar
yang berbeda sehingga proses pembelajaran bahasa kedua menjadi lebih bermakna.
Bertolak
dari pendapat di atas, maka guru harus dapat menciptakan pertemuan antara teori
dengan praktik mengajar. Jika guru sebagai pendidik memiliki dasar akademis
yang kuat serta sikap bahasa yang baik, maka akan terjadi pembelajaran yang
baik dan menghadirkan sumbangan yang positif terhadap pembelajaran bahasa di
kelas.
Bangerter
(2010: 3) mengemukakan strategi yang harus digunakan oleh pendidik atau
instruktur dalam pembelajaran menulis dalam kutipan berikut.
“Students
often fall short in their writing assignments because they fail to see writing
as a recursive process of prewriting, drafting, revising, and editing. In
addition, educators struggle to provide feedback on student writing and asses
student writing throughout the process. Instructors need a tool to engage
students throughout the writing process and to encourage good writing
practices, such as collaboration and self-reflection. Instructors also need a
tool to facilitate their assessments of writing in each stage.”
“Siswa
sering gagal dalam tugas menulis karena mereka gagal untuk memandang menulis
sebagai sebuah proses yang berkesinambungan dari prapenulisan, penyusunan,
merevisi, dan mengedit. Selain itu, pendidik perlu untuk memberikan umpan balik
mengenai tulisan siswa dan selama proses penulisan berlangsung. Pendidik
memerlukan alat untuk melibatkan para siswa selama proses menulis dan mendorong
siswa untuk melakukan praktik menulis yang baik, seperti kolaborasi dan
refleksi diri. Pendidik juga memerlukan sebuah alat untuk memfasilitasi
penilaian menulis mereka dalam setiap tahap.”
Kutipan di
atas menegaskan bahwa seorang pendidik harus mampu memilih atau bahkan
menciptakan strategi yang bagus dalam pembelajaran menulis agar siswa
termotivasi dan berminat untuk menciptakan sebuah tulisan yang baik. Pendidik
harus mampu menjelaskan kepada siswa dengan cara yang tepat bahwa menulis
bukanlah sebuah hal yang instan untuk dikuasai karena merupakan sebuah proses
yang membutuhkan tahap-tahap tertentu, seperti tahap prapenulisan, drafting, revisi, dan pengeditan untuk
menciptakan sebuah tulisan yang baik.
Strategi
tersebut dapat juga dilengkapi dengan media yang tepat agar pembelajaran
menulis yang dilakukan akan lebih bermakna bagi siswa. Bahkan proses refleksi,
baik secara kelompok maupun pribadi juga dapat dilakukan di antara siswa agar
siswa bisa mendapatkan banyak saran dari proses tersebut. Proses tersebut dapat
digunakan oleh pendidik sebagai pedoman dalam memberikan umpan balik (feedback).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar