BAB 6
PERSEPSI TERHADAP UJARAN
A. Tujuan Pembelajaran
Setelah membaca bab ini, diharapkan
Saudara dapat:
1. Menjelaskan
Persepsi Ujaran
2. Menyebutkan
Model Persepsi Ujaran;
3. Menyebutkan
dan Menjelaskan Persepsi Ujaran dalam Kontek Tuturan
B. Persepsi Ujaran
Ujaran adalah suara murni (tuturan),
langsung, dari sosok yang berbicara. Jadi ujaran itu adalah sesuatu baik berupa
kata,kalimat,gagasan, yang keluar dari mulut manusia yang mempunyai arti.
Dengan adanya ujaran ini maka akan muncullah makna sintaksis, semantik, dan
pragmatik [ http://
afrizaldaonk. blogspot. Com /2011 /01/ persepsi-ujaran.html
Persepsi adalah sebuah proses saat
individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna
memberikan arti bagi lingkungan mereka Dardjowidjojo (2003: 58). Persepsi
terhadap ujaran bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan oleh manusia
karena ujaran merupakan suatu aktivitas verbal yang meluncur tanpa ada batas
waktu yang jelas antara satu kata dengan kata yang lain ( Ketika seseorang
berbicara atau bernyanyi, indera pendengaran kita mampu membedakan ciri bunyi
yang satu dengan yang lainnya. Indera pendengaran mampu menangkap dan memahami
rangkaian bunyi vokal dan konsonan yang membentuk sebuah tuturan, cepat-lambat
tuturan, dan nada tuturan yang dihasilkan oleh seorang penutur.
Seorang penguji coba dalam sebuah
media elektronik dituntut memiliki kepekaan dalam persepsi terhadap bunyi
bahasa yang yang dihasilkan oleh calon pembawa acara. Ia harus mampu menangkap
ketepatan bunyi vokal dan konsonan. Selain itu, ia harus mampu menangkap cepat-
lambat, tekanan, serta nada bicara si calon pembawa acara tersebut. Seorang
komentator dalam acara kompetisi menyanyi yang populer di televisi dituntut
mampu menangkap ketepatan nada yang dihasilkan oleh si penyanyi (Kushartanti
Berdasarkan uraian diatas, persepsi
terhadap bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat bicara dikelompokan menjadi
dua, yakni
- Persepsi
terhadap bunyi yang berupa satuan struktural, yaitu vokal dan konsonan
- Persepsi
terhadap bunyi yang berupa cepat-lambat, kelantangan, tekanan, dan nada.
Dalam linguistik, bunyi-bunyi vokal
dan konsonan yang kita dengar disebut bunyi segmental. Bunyi bhasa yang berupa
cepat-lambat, kelantangan, tekanan, dan nada disebut bunyio
suprasegmental atau prosodi (Kushartanti,
). Perhatikan tiga ujaran berikut : a) Bukan angka, b) Buka nangka c)
Bukan nangka. Meskipun ketiga ujaran ini berbeda maknanya satu dari yang
lain , dalam pengucapannya ketiga bentuk ujaran ini bisa sama [bukanahka].
Di samping itu, suatu bunyi juga
tidak diucapkan secara persis sama tiap kali bunyi itu muncul. Bagaimana suatu
bunyi diucapkan dipengaruhi oleh lingkungan di mana bunyi itu berada. Bunyi [b]
pada kata buru, misalnya, tidak persis sama dengan bunyi [b] pada
kata biru . Pada kata buru bunyi /b/ dipengaruhi oleh bunyi /u/
yang mengikutinya sehingga sedikit banyak ada unsur pembundaran bibir dalam
pembuatan bunyi ini. Sebaliknya, bunyi yang sama ini akan diucapkan
dengan bibir yang melebar pada kata biru karena bunyi /i/
merupakan bunyi vokal depan dengan bibir melebar Dardjowidjojo (2003: 58).
Namun demikian, manusia tetap saja
dapat mempersepsi bunyi-bunyi bahasanya dengan baik. Tentu saja persepsi seperti
ini dilakukan melalui tahap-tahap tertentu. Pada dasarnya ada tiga tahap dalam
pemrosesan persepsi bunyi (Clack & Clark, 1977) :
- Tahap
auditori: Pada tahap ini manusia menerima ujaran sepotong
demi sepotong. Ujaran ini kemudian ditanggapi dari segi fitur akustiknya.
Konsep-konsep seperti titik artikulasi, cara artikulasi, fitur distingtif,
dan VOT[ sangat bermanfaat di sini
karena ihwal seperti inilah yang memisahkan satu bunyi dari bunyi yang
lain. Bunyi-bunyi dalam ujaran itu kita simpan dalam memori auditori kita.
- Tahap
fonetik : Bunyi-bunyi itu kemudian kita identifikasi.
Dalam proses mental kita,kita lihat, misalnya apakah bunyi tersebut
[+konsonantal], [+vois], [+nasal], dst. Begitu pula lingkungan bunyi itu :
apakah bunyi tadi diikuti oleh vokal atau oleh konsonan. Kalau oleh vokal,
vokal macam apa vokal depan, vokal belakang, vokal tinggi, vokal rendah,
dsb. Seandainya ujaran itu adalah Bukan nangka , maka mental kita
menganalisis bunyi /b/ terlebih dahulu dan menentukan bunyi apa yang kita
dengar itu dengan memperhatikan hal-hal seperti titik artikulasi,
cara artikulasi, dan fitur distingtifnya. Kemudian VOTnya juga
diperhatikan karena VOT inilah yang akan menetukan kapan getaran pada pita
suara itu terjadi.
Segmen-segmen bunyi ini kemudian
kita simpan di memori fonetik. Perbedaan antara memori auditori dengan memori
fonetik adalah bahwa pada memori auditori semua variasi alofonik yang ada pada
bunyi itu kita simpan sedangkan pada memori fonetik hanya fitur-fitur yang
sifatnya fonemik saja. Misalnya, bila kita mendengar bunyi [b] dari kata buntu
maka yang kita simpan pada memori auditori bukan fonem /b/ dan bukan
hanya titik artikulasi, cara artikulasi, dan fitur-fitur distingtifnya saja
tetapi juga pengaruh bunyi /u/ yang mengikutinya. Dengan demikian maka [b] ini
ssedikit banyak diikuti oleh bundaran bibir (lip – rounding) . Pada
memori fonetik, hal-hal seperti ini sudah tidak diperlukan lagi karena begitu
kita tangkap bunyi itu sebagai bunyi /b/ maka detailnya sudah tidak signifikan
lagi. Artinya, apakah /b/ itu diikuti oleh bundaran bibir atau tidak, tetap
saja bunyi itu adalah bunyi /b/.
Analisis mental yang lain adalah
untuk melihat bagaimana bunyi-bunyi itu diurutkan karena urutan bunyi inilah
yang nantinya menentukan kata itu kata apa. Bunyi /a/, /k/, dan /n/ bisa
membentuk kata yang berbeda bila urutannya berbeda. Bila /k/ didengar terlebih
dahulu, kemudian /a/ dan /n/ maka akan terdengarlah bunyi /kan/; bila /n/ yang
lebih dahulu, maka terdengarlah bunyi /nak/ Dardjowidjojo (2003: 58)
- Tahap fonologis : Pada
tahap ini mental kita menerapkan aturan fonologis pada deretan bunyi yang
kita dengar untuk menetukan apakah bunyi-bunyi tadi sudah mengikuti
aturan fonotaktik yang pada bahasa kita. Untuk bahasa Inggris, bunyi
/h/ tidak mungkin memulai suatu suku kata. Karena itu, penutur Inggris
pasti tidak akan menggabungkannya dengan vokal. Seandainya ada urutan
bunyi ini dengan bunyi yang berikutnya, dia pasti akan menempatkan bunyi
ini dengan bunyi di mukanya, bukan di belakangnya. Dengan demikian deretan
bunyi /b/, /Ə/, /h/, /i/, dan /s/ pasti akan dipersepsi sebagai beng
dan is , tidak mungkin be dan ngis.
Orang
Indonesia yang mendengar deretan bunyi /m/ dan /b/ tidak mustahil akan
mempersepsikannya sebagai /mb/ karena fonotaktik dalam bahasa kita
memungkinkan urutan seperti ini seperti pada kata mbak dan mbok meskipun
kedua-duanya pinjaman dari bahasa Jawa. Sebaliknya, penutur Inggris pasti akan
memisahkan kedua bunyi ini ke dalam dua suku yang berbeda.
Kombinasi
bunyi yang tidak dimungkinkan oleh aturan fonotaktik bahasa tersebut pastilah
akan ditolak. Kombinasi /kt/, /fp/, atau /pk/ tidak mungkin memulai suatu suku
sehingga kalau terdapat deretan bunyi /anaktuhgal/ tidak mungkin akan
dipersepsi sebagai /ana/ dan /ktuhgal/ secara mental dengan melalui proses yang
sama. Kemudian bunyi /k/, dst. Sehingga akhirnya semua bunyi dalam ujaran itu
teranalisis. Yang akan membedakan antara bukan nangka, bukan angka, dan
buka nangka adalah jeda (juncture) yang terdapat antara satu kata
dengan kata lainnya. Dardjowidjojo (2003: 58)
A. Model Persepsi
Ujaran
Dalam rangka memahami bagaimana
manusia mempersepsi bunyi sehingga akhirnya nanti bisa terbentuk komprehensi,
para ahli psikolinguistik mengemukakan model-model teoritis yang diharapkan
dapat menerangkan bagaimana proses persepsi itu terjadi. Sampai saat ini ada
empat model teoritis yang telah diajukan:
1. Model Teori
Motor untuk Persepsi Ujaran
Model yang diajukan oleh Liberman
dkk ini, yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai Motor Theory of Speech
Perception, menyatakan bahwa manusia mempersepsi bunyi dengan memakai acuan
seperti pada saat dia memproduksi bunyi itu (Liberman dkk 1967 dalam Gleason
dan Ratner, 1998). Seperti dinyatakan sebelumnya, bagaimana suatu bunyi
diucapkan dipengaruhi oleh bunyi-bunyi lain di sekitarnya. Namun demikian,
bunyi itu akan tetap merupakan fonem yang sama, meskipun wujud fonetiknya
berbeda. Persamaan ini disebabkan oleh artikulasinya yang sama pada waktu
mengucapkan bunyi tersebut. Jadi, meskipun bunyi /b/ pada kata /buka/ dan
/bisa/ tidak persis sama dalam pengucapannya, kedua bunyi ini tetap saja
dibuat dengan titik dan cara artikulasi yang sama. Dengan demikian, seorang
penutur akan menganggap kedua bunyi ini sebagai dua alofon dari satu fonem
yang sama, yakni, fonem /b/. Dengan kata lain, meskipun kedua bunyi itu secara
fonetik berbeda, kedua bunyi ini akan dipersepsi sebagai satu bunyi yang sama.
Penentuan suatu bunyi itu bunyi apa didasarkan pada
persepsi si pendengar yang seolah-olah membayangkan bagaimana bunyi itu dibuat,
seandainya dia sendiri yang mengujarkannya. Dardjowidjojo (2003:
- Model
Analisis dengan Sintesis
Manusia bervariasi dalam ujaran
mereka, tergantung pada berbagai faktor seperti keadaan kesehatan, keadaan
sesaat (gembira atau sedih), dan keadaan alat ujuran (sedang merokok atau
tidak). Dengan demikian, kalau kita hanya menggantungkan pada fitur akustiknya
saja, maka sebuah kata bisa saja memiliki banyak bentuk yang berbeda-beda.
Karena itu, diajukanlah suatu model yang dinamakan Model Analisis dengan
Sintesis (Analysis-by-Synthesis).
Dalam model ini dinyatakan bahwa
pendengar mempunyai sistem produksi yang dapat mensintesiskan bunyi sesuai
dengan mekanisme yang ada padanya (Stevens 1960, dan Stevens dan Halle 1967,
dalam Gleason dan Ratner 1998). Waktu dia mendengar suatu deretan bunyi, dia
mula-mula mengadakan analisis terhadap bunyi-bunyi itu dari segi fitur
distingtif yang ada pada masing-masing bunyi itu. Hasil dari analisis ini
dipakai untuk memunculkan atau mensintesiskan suatu ujaran yang kemudian
dibandingkan dengan ujaran yang baru dipersepsi. Bila antara ujaran yang
dipersepsi dengan ujaran yang disintesiskan itu cocok maka terbentuklah
persepsi yang benar. Bila tidak, maka dicarilah lebih lanjut ujaran-ujaran lain
untuk akhirnya ditemukan ujaran yang cocok.
Sebagai contoh, bila penutur bahasa
Indonesia mendengar deretan bunyi /pola/ maka mula-mula dianalisislah ujaran
itu dari segi fitur distingtifnya – dimulai dengan /p/ yang berfitur
[+konsonantal], [-kontinuan], [+tak-vois], dsb. Proses ini berlanjut untuk
bunyi /o/, dan seterusnya. Setelah semuanya selesai, disintesiskanlah
ujaran itu untuk memunculkan bentuk-bentuk yang mirip dengan bentuk itu seperti
kata /mula/, kemudian /pula/, lalu /kola/, /bola/ … sampai akhirnya ditemukan
deretan yang persis sama, yakni, /pola/. Baru pada saat itulah deretan tadi
telah dipersepsi dengan benar.
- Fuzzy
Logical Model
Menurut model ini (Massaro, 1987,
1989) persepsi ujaran terdiri dari tiga proses : evaluasi fitur, integrasi
fitur, dan kesimpulan. Dalam model ini ada bentuk prototipe, yakni, bentuk yang
memiliki semua nilai ideal yang ada pada suatu kata, termasuk fitur-fitur
distingtifnya. Informasi dari semua fitur yang masuk dievaluasi, diintegrasi,
dan kemudian dicocokkan dengan deskripsi dari prototipe yang ada pada memori
kita. Setelah dicocokkan lalu diambil kesimpulan apakah masukan tadi cocok
dengan yang terdapat pada prototipe.
Sebagai misal, bila kita mendengar
suku yang berbunyi /ba/ maka kita mengaitkannya dengan suku kata ideal untuk
suku ini, yakni, semua fitur yang ada pada konsonan /b/ maupun pada vokal /a/.
Evaluasi fitur menilai derajat kesamaan masing-masing fitur dari suku yang kita
dengar dengan masing-masing fitur dari prototipe kita. Evaluasi ini lalu
diintegrasikan dan kemudian diambil kesimpulan bahwa suku kata /ba/ yang kita
dengar itu sama (atau tidak sama) dengan suku kata dari prototipe kita.
Model ini dinamakan fuzzy
(kabur) karena bunyi, sukukata, atau kata yang kita dengar tidak mungkin persis
100% sama dengan prototipe kita. Orang yang sedang mengunyah sesuatu sambil
mengatakan /ba(rah)/ pasti tidak akan menghasilkan /ba/ yang sama yang
diucapkan oleh orang yang tidak sedang mengunyah apa-apa. Begitu pula orang
yang sedang kena flu pasti akan menambahkan bunyi sengau pada suku ini; akan
tetapi, suku kata /ba/ yang dengan bunyi sengau ini akan tetap saja kita anggap
sama denga prototipe kita. Dardjowidjojo (2003: 58)
- Model
Cohort
Model untuk mengenal kata ini terdiri dari dua
tahap:
Pertama,
tahap di mana informasi mengenai fonetik dan akustik bunyi-bunyi pada kata yang
kita dengar itu memicu ingatan kita untuk memunculkan kata-kata lain yang mirip
dengan kata tadi. Bila kita mendengar kata /prihatin/ maka semua kata yang
mulai dengan /p/ maka teraktifkan: pahala, pujaan, priyayi, prakata, dsb.
Kata-kata yang termunculkan inilah yang disebut sebagai cohort.
Ø Pada tahap kedua, terjadilah proses eliminasi secara
bertahap. Waktu kita kemudian mendengar bunyi /r/ maka kata pahala dan pujaan
akan tersingkirkan karena bunyi kedua pada kata kedua ini bukanlah /r/
seperti pada kata targetnya. Kata priyayi dan prakata masih
menjadi calon kuat karena kedua kata ini memiliki bunyi /r/ setelah /p/. Pada
proses berikutnya, hanya priyayi yang masih bertahan karena kata prakata
memliki bunyi /a/, bukan /i/, pada urutan ketiganya. Akan tetapi, pada proses
selanjutnya kata priyayi juga tersingkirkan karena pada kata tergetnya
bunyi yang ke-empat adalah /h/ sedangkan pada priyayi adalah /y/. Dengan
demikian maka akhirnya hanya ada satu kata yang persis cocok dengan masukan
yang diterima oleh pendengar, yakni, kata prihatin. Secara diagramatik
model untuk mempersepsi kata prihatin adalah sebagai berikut: Dardjowidjojo
(2003: 55)
- Pahala
- Pujaan
- Prianti
- Prihatin
Priyayi
pryayi
priyayi
- Prakata
prakata
- Prihatin
prihatin
prihatin prihatin
- Dst
- Model
Trace
Model ini mula-mulanya adalah model
untuk mempersepsi huruf tetapi kemudian dikembangkan untuk mempersepsi bunyi.
Model TRACE berdasarkan pada pandangan yang koneksionis dan mengikuti proses top-down.
Artinya konteks leksikal dapat membantu secara langsung pemrosesan secara
perseptual dan secara akustik. Begitu pula informasi di tataran kata dapat juga
mempengaruhi pemprosesan pada tataran di bawahnya.
Proses ini terdiri dari tiga tahap:
tahap fitur, tahap fonem, dan tahap kata. Pada masing-masing tahap ada
node-node yang mewakili fitur distingtif, fonem, dan kata. Masing-masing node
mempunyai tingkat yang dinamakan resting, threshold, dan activation.
Bila kita mendengar suatu bunyi,maka bunyi ini akan mengaktifkan fitur-fitur
distingtif tertentu dan ‘’mengistirahtkan’’ fitur-fitur distingtif lain yang
tidak relevan. Jadi, seandainya kita mendengar bunyi /ba/, maka bunyi /b/ akan
mengaktifkan fitur-fitur distingtif [+konsonantal], [+anterior], [+vois] dan
beberapa fitur yang lain, tetapi fitur-fitur seperti [+vokalik], [+nasal], dan
[+koronal] akan ‘’diistirahatkan.’’ Dengan kata lain, fitur-fitur yang relevan
itu tadi muncul pada tingkat threshold.
Node-node ini saling berkaitan
sehingga munculnya fitur-fitur tertentu pada tingkat threshold bisa pula
memunculkan node-node yang lain. Karena perbedaan antara /b/ dan /p/ hanyalah
pada soal vois maka waktu /b/ muncul, /p/ bisa pula ikut muncul untuk
dikontraskan – meskipun kemudian disingkirkan. Begitu pula ada jaringan
interkoneksi antara satu tingkat dengan tingkat yang lain. Munculnya /k/ dan
/o/ utuk kata Inggris coat bisa memunculkan kata code, boat, dan road
pada tataran kata.
Melalui proses eliminasi pada masing-masing tahap
akhirnya ditemukan kata yang memang kita dengar Dardjowidjojo (2003: 56) .
B. Persepsi Ujaran Dalam Konteks Tuturan
Di atas telah digambarkan bagaimana
manusia memproses ujaran yang kita dengar secara satu per satu. Akan
tetapi, dalam kenyataannya bunyi itu tidak diujarkan secra terlepas dari bunyi
yang lain. Bunyi selalu diujarkan secara berurutan dengan bunyi yang lain
sehingga bunyi-bunyi itu membentuk semacam deretan bunyi. Lafal bunyi yang
diujarkan secara berurutan dengan bunyi yang lain tidak sama dengan lafal bunyi
itu bila dilafalkan secara sendiri-sendiri. Bunyi /p/ yang diujarkan sebelum
bunyi /i/ (seperti kata pikir) akan berbeda dengan bunyi /p/ yang
diujarkan sebelum bunyi /u/ ( seperti pada kata pukat). Pada rentetan
yang pertama, bunyi /p/ ini akan terpengaruh oleh bunyi /i/ sehngga ucapan
untuk /p/ sedikit banyak sudah diwarnai oleh bunyi /i/, yakni, kedua bibir
sudah mulai melebar pada saat bunyi /p/ diucapkan. Sebaliknya, bunyi /p/ pada
/pu/ diucapkan dengan kedua bibir bundarkan, bukan dilebarkan seperti pada
/pi/.
Namun demikian, sebagai pendengar
kita tetap saja dapat menentukan bahwa kedua bunyi /p/ yang secara fonetik
berbeda merupakan satu bunyi yang secara fonemik sama. Karena itulah maka betapa
pun berbedanya lafal suatu bunyi, pendengar akan tetap menganggapnya sama
apabila perbedaan itu merupakan akibat dari adanya bunyi lain yang
mempengaruhinya. Dengan kata lain, alofon-alofon suatu bunyi akan tetap
dianggap sebagai satu fonem yang sama.
Persepsi terhadap suatu bunyi dalam
deretan bunyi bisa pula dipengaruhi oleh kecepatan ujaran. Suatu bunyi yang
diucapkan dengan bunyi-bunyi yang lain secara cepat akan sedikit banyak berubah
lafalnya. Akan tetapi, sebagai pendengar kita tetap saja dapat memilah-milihnya
dan akhirnya menentukannya. Pengetahuan kita sebagai penutur bahasa membantu
kita dalam proses persepsi.
Faktor lain yang membantu kita dalam
mempersepsi suatu ujaran adalah pengetahuan kita tentang sintaksis maupun
semantik bahasa kita. Suatu bunyi yang terucap dengan tidak jelas dapat diterka
dari wujud kalimat di mana bunyi itu terdapat. Bila dalam mengucapkan kalimat Dia
sedang sakit kita terbatuk persis pada saat kita akan mengucapkan kata sakit,
sehingga kata ini kedengaran seperti /keakit/, pendengar kita akan dapat
menerka bahwa kata yang terbatukkan itu adalah sakit dari konteks di
mana kata itu dipakai atau dari perkiraan makna yang dimaksud oleh pembicara.
Dari gambaran ini dapatlah dikatakan
bahwa pengaruh konteks dalam persepsi ujaran sangatlah besar. Dari sintaksisnya
kita tahu bahwa urutan pronomina, kala progsesif, dan adjektiva adalah urutan
yang benar. Dari semantiknya terdapat pula kecocokan antara ketiga kata ini.
Dari konteksnya ketiga kata ini mmemberikan makna yang layak. Dardjowidjojo
(2003: 58)
Persepsi
ujaran ternyata tidaklah sesederhana yang kita pikirkan, di dalamnya terdapat
proses atau tahapan bagaimana suatu persepsi terhadap suatu ujaran itu terjadi.
Melalui tahapan-tahapan tersebut kita sebagai pendengar dapat menafsirkan bunyi
yang diujarkan oleh penutur dan memahaminya secara tepat dan sesuai
dengan maksud si penutur.
Persepsi ujaran juga mempunyai beberapa model dimana
pada masing-masing model terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana
sebuah persepsi ujaran itu terbentuk, seperti keadaan lingkungan, keadaan
psikologis si penutur, dan juga kemampuan bahasa si pendengar atau yang
memberikan persepsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar