Selasa, 14 Oktober 2014

PSIKOLINGUISTIK MATERIIII 8

BAB VI
PEMEROLEHAN BAHASA
A.    Tujuan Pembelajaran
Setelah membaca bab ini, diharapkan Saudara dapat:
1.      Menjelaskan Pemerolehan Bahasa;
2.      Menyebutkan Komponen Pemerolehan Bahasa;
3.      Menyebutkan Proses pemerolehan Bahasa;
4.      Menjelaskan Fungsi Bahasa daalam Pemerolehan Bahasa;
5.      Menjelaskan masa kritis Proses Pemerolehan Bahasa;
6.      Menjelaskan Pemerolehan Bahasa Pertama;
7.      Menjelaskan Pemerolehan Bahasa Kedua.


B.     Batasan Pemerolehan Bahasa
Para psikolinguis lebih suka memakai istilah pemerolehan bahasa (language acquisition) daripada pembelajaran bahasa (language learning). Istilah pemerolehan bahasa dirasakan lebih tepat dan sederhana (Lyons, 1981:252). Hal ini sesuai dengan penafsiran bahwa pemerolehan bahasa ditujukan kepada proses pengahsilan pengetahuan bahasa tanpa kualifikasi oleh penutur bahasa. Kedua istilah itu memang mamiliki perbedaan. Pemerolehan bahasa (1) terjadi pada masa kanak-kanak, (2) bermotovasi internal, ada tingkah laku dan komunikasi verbal, (3) data bahasa tak terprogram, (4) tak ada guru (instruktur) formal; sedangkan pembelajaran bahasa (1) terjadi kemudian jika performansi pertama sudah tetap, (2) bermotivasi eksternal, ada faktor kebutuh-an dan kemanfaatan, (3) berlangsung dengan program terencana, dan (4) ada guru (instruktur) formal.
Jelaslah bahwa pemerolehan bahasa terjadi secara alamiah pada masa kanak-kanak. Karena itu, Kiparsky (1977) menjelaskan bahwa pemerolehan bahasa itu proses yang dipakai oleh kanak-kanak untuk menyesuaikan serangkai- an hipotesis yang makin bertambah rumit atau teori-teori yang masih terpendam yang mungkin terjadi dengan ucapan orang tuanya sampai dia memilih menurut ukuran penilaian tata bahasa yang terbaik dan sederhana dari bahasanya. Lebih khusus lagi, Simanjuntak (1987:157) menjelaskan bahwa pemerolehan bahasa merupakan proses yang terjadi dalam otak kanak-kanak (bayi) sewaktu memperoleh bahasa ibunya. Jadi, pemerolehan bahasa melibatkan bahasa pertama, yang berbeda dengan pembelajaran bahasa yang melibatkan bahasa kedua atau bahasa asing.
Penelitian tentang perkembangan bahasa anak telah lama dan banyak dilakukan seperti di Jerman, Perancis, dan Inggris selama paruh akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Salah seorang yang menonjol di Amerika Serikat, G. Stanley Hall, telah berkecimpung di bidang psikologi perkembangan. Ia tertarik untuk mengetahui ―isi otak anak. Hasil penelitian Hall ini menjadi inspirasi bagi para peneliti perkembangan bahasa anak di Amerika Serukat.
Sejak itulah bermunculan berbagai penelitian mengenai perkembangan bahasa anak, baik yang dilakukan oleh linguis maupun oleh psikolog atau psikolinguis. Berbagai upaya, metodolgi dan pandangan yang berbeda lahir dari penelitian pemerolehan bahasa itu. Akibatnya, lahir berbagai pokok dan tokoh dalam pemerolehan bahasa.
Dalam tulisan ini disajikan berbagai teori pemerolehan bahasa, baik yang berkaitan dengan pokok pembicaraannya, maupun dengan pedekatannya.

C.    Komponen Pemerolehan Bahasa
Komponen bahasa itu berkaitan erat dengan kaidah bahasa. Chomsky (1965) menjelaskna bahwa kaidah (tata)bahasa mel;iputi komponen: fonologi, sintaksis, dan semantik. Sintaksis merupakan komponen sentral yang konsisten dengan pnguasaan kaidah dan leksikon untuk menurunkan struktur batin dan struktur lahir yang dihubungkan melalui kaidah transformasi. Singkatnya, komponen pemerolehan bahasa itu meliputi komponen (1) fonologi, (2) sintaksis, dan (3) semantik.
D.    Proses Pemerolehan Bahasa
Proses yang terjadi ketika anak memperoleh bahasa ibunya itu meliputi dua aspek: performansi dan kompetensi. Performansi merupakan pelaksanaan kemampuan bahasa secara nyata (aktual) berupa ujaran yang dihasilkan bahasawan seperti berbicara, menyimak, membaca, dan menulis. Kompetensi merupakan pengetahuan tentang bahasa yang bersifat abstak dan tidak sadar.
Umumnya proses brbahasa digambarkan berikut ini.
E.     Fungsi Bahasa dalam Pemerolehan Bahasa
Pemerolehan bahasa anak berarti proses anak mulai mengenal komuni-kasi dengan ligkungannya secara verbal. Anak-anak (0-7 tahun) berbahasa sebagai pranata sosial dan sistem lambang komunikasi. Halliday (1975) menyebutkan 7 fungsi bahasa yakni fungsi (1) instrumental, (2) regulasi, (3) interaksional, (4) personal, (5) heiristik, (6) representasional, dan (7) imajinatif.
Wood (1981) menggambarkan fungsi bahasa dengan fase pemerolehan bahasa sebagai berikut.
a.       Fase I (9-16 bulan): bunyi dan makna dengan fungsi bahasa regulasi, instrumental, interaksional, heuristik, personal, dan imajinatif.
b.      Fase II (16-24 bulan): tata bahasa dan dialog dengan fungsi bahasa pragmatik dan matetik.
c.       Fase III (24 bulan - …): teks dengan fungsi bahasa interpersonal dan ideasional.

E. Masa Kritis Proses Pemerolehan Bahasa  
Penfield & Robets berpendapat bahwa secara neurologis anak usia 2-12 tahun memiliki kemampuan terbatas untuk berbahasa. masa ini merupakan masa pemerolehan bahasa secara khusus karena otak platis bahasa anak berkembang.  Masa ini oleh Lenneberg (1969) disebut masa kritis karena anak yang tidak mengalami proses sosial berbahasa sampai dengan usia lewat masa kritis akan mengalami kesulitan dan keterlambatan berbahasa. Lenneberg membagi masa kritis berbahasa sebagai berikut.
Tabel 1. Masa kritis
Perkembangan Proses Berbahasa Usia
Proses Berbahasa
0 - - 3 bulan
Mendengkur
4 – 20 bulan
Proses meraban sampai kata tunggal
21-36 bulan
Proses pemerolehan bahasa
03-10 tahun
Pemurnian tata bahasa dan penambahan kosa kata
11-14 tahun
Pemunculan intonasi asing

F.     Pemerolehan Bahasa Pertama
Sebagaimana yang telah dibahas bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerjasama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. Dari kata kelompok sosial yang terdapat pada definisi ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa bahasa itu akan diperoleh pula melalui interaksi sosial; apa jadinya jika seorang manusia dipisahkan atau terpisah dari kelompok sosial sejak lahir; bahasa apa yang akan ia gunakan?. Pernah terjadi pada abad ke-19, seorang anak ditemukan di hutan Averyron yang dipelihara oleh serigala selama bertahun-tahun.
Ketika ia diketemukan ia merangkak dan melolong bak serigala. Seorang dokter yang bernama Itard mengajarkannya bahasa manusia pada umur 12 tahun tapi tidak berhasil dan ia hanya bisa mengucapkan beberapa kata saja. Anak itu diberi nama Victor, anak liar dari Averyron (Rakhmat, 1986: 282). Penemuan Victor ini membuktikan bahwa, jika seorang manusia terpisah dari kelompok sosial ia tidak sanggup untuk berbicara. Padahal seorang anak yang berumur 4 tahun saja sudah mampu berdialog dengan kawan-kawannya dalam bahasa ibunya. Barangkali sekarang yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mana seorang anak bisa memperoleh bahasa, padahal ia belum pernah belajar tentang tata bahasa? Bagaimana ia dapat menangkap arti kata-kata tanpa menggunakan kamus? Tentang teori pemerolehan bahasa pertama ini atau sering disebut bahasa Ibu; dalam psikologi terdapat dua teori: teori belajar dari behaviorisme dan teori nativisme dari Noam Chomsky.
Dalam pandangan behaviorisme, sistem respons yang diperoleh manusia ialah melalui sistem ―membiasakan (conditioning), atau pengulangan-pengulangan bentuk-bentuk bahasa sehingga anak tidak lagi membuat kesalahan dalam perlakuan bahasa pertamanya (Utari Subyakto, 1988: 89). Dan menurut Skinner–salah seorang ahli psikologi (1957), dari sekian banyak ocehan anak (babbling), hanya bunyi-bunyian tertentu yang digunakan anak yang diperkuat oleh orang-orang dewasa sekelilingnya, karena bunyi-bunyi itu yang dipakai berkomunikasi, sedang bunyi-bunyi yang tidak berguna karena tidak dipakai oleh orang-orang dewasa akan dilupakan atau dibuang dari ingatan anak itu (Ibid). Namun menurut Chomsky, bila anak harus belajar hanya dengan sekedar membiasakan saja, paling tidak diperlukan waktu tiga puluh tahun untuk mampu menguasai 1000 kata saja. Kata Chomsky teori behaviorisme tidak dapat menjelaskan fenomena belajar bahasa; teori ini tidak dapat menjelaskan mengapa anak berhasil membuat kalimat-kalimat yang tidak pernah mereka dengar, atau melahirkan kata-kata baru atau susunan kalimat baru yang tidak pernah diucapkan oleh orang tuanya. Menurut Chomsky, setiap anak mampu menggunakan suatu bahasa karena adanya pengetahuan bawaan (preexistent knowledge) yang telah diprogram secara genetik dalam otak kita.
Pengetahuan ini disebut L.A.D. – Language Acquisition Device – (Rakhmat, 1986 : 283). Memang bahasa di dunia ini berbeda-beda tetapi mempunyai kesamaan dalam struktur pokok yang mendasarinya, istilah yang dipakai oleh Chomsky untuk ini adalah linguistik universal . karena kemampuan inilah anak-anak bisa mengenal hubungan diantara bentuk-bentuk bahasa ibunya dengan bentuk-bentuk yang terdapat dalam tata bahasa struktur dalam yang sudah terdapat pada kepalanya yang menyebabkan anak secara alamiah mengucapkan kalimat-kalimat yang sesuai dengan peraturan bahasa mereka (Ibid : 284). Begitu pula yang dikatakan Soblin, bahwa seorang anak lahir dengan seperangkat prosedur dan aturan bahasa; namun ia tidak menganggap bahwa yang dibawa lahir itu pengetahuan seperangkat kategori linguistik yang semesta atau yang biasa disebut linguistik universal ; prosedur-prosedur dan aturan-aturan bahasa yang dibawa lahir itulah yang memungkinkan seorang anak untuk mengolah data linguistik, dan yang menjadi faktor penentu perolehan bahasa ialah perkembangan umum kognitif dan mental anak (Utari Subyakto, 1988 : 90).
Dengan bertambahnya kemampuan kognitif anak, ia mulai mampu melepaskan diri dari situasi ―sekarang dan tempat ini dan mampu memikirkan dirinya berada dalam waktu dan di tempat lain, kemajuan ini memungkinkan anak untuk mengungkapkan makna-makna baru secara bertahap (Ibid). Yang menjadi bukti adanya kemampuan dasar berbahasa ialah dengan ditemukannya daerah Broca dan Wernicke pada otak manusia. Rakhmat (1986 : 284) menjelaskan bahwa daerah Broca mengatur sintaksis, sehingga gangguan atau kerusakan pada daerah ini menyebabkan orang berbicara terpatah-patah dengan susunan kata yang tidak teratur, sedangkan kerusakan di daerah Wernicke menyebabkan orang berbicara lancar tetapi tidak mempunyai arti. Dengan keterangan ini menjelaskan bahwa otak manusia itu tidaklah polos seperti kertas yang kosong, tetapi lebih tepatnya ialah organ yang telah dilengkapi dengan program-program – baca kemampuan-kemampuan bawaan. Tinggal bagaimana kemampuan ini akan ditambah atau dikembangkan dengan belajar.
Di Philadelphia pernah diadakan penelitian tentang anak-anak bisu yang tidak diajari bahasa isyarat, dan ditemukan ketika anak-anak itu berusia 3 atau 4 tahun mereka telah membuat bahasa isyarat tersendiri. Mereka dapat membedakan subyek, predikat dan objek; dengan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam otak anak sudah tersedia prinsip-prinsip berbahasa yang bukan merupakan hasil belajar (Ibid : 285).

G.    Pemerolehan Bahasa Kedua
Pada masa kanak-kanak bisa dikatakan memperoleh bahasa , sebab anak-anak mendapatkan kemampuan berbahasa itu tanpa sadar bahwa mereka sedang menghimpun kaidah pemakaian bahasa sambil berkomunikasi dengan lingkungannya (Soenardjie, 1989 : 131). Kebanyakkan orang di dunia ini tidak hanya menggunakan satu bahasa saja dalam hidupnya, tidak mustahil ketika kanak-kanak pun sudah terbiasa dengan lebih dari satu bahasa; misalkan ketika di rumah dan di luar rumah, orang tuanya menggunakan bahasa yang berbeda. Meskipun ketika kanak-kanak sudah mendapatkan dua bahasa, misalnya; bahasa Indonesia dan bahasa daerah, tapi tetap saja keduanya dianggap sebagai bahasa pertamanya (Subyakto, 1988 : 65). Orang yang seperti ini bisa dikatakan sebagai ―dwibahasawan yang alamiah. Mengenai istilah yang digunakan untuk pemeroleh bahasa pertama, jika mendapat satu bahasa disebut ekabahasawan (monolingual), kalau yang diperolehnya dua bahasa baik secara bersamaan ataupun berurutan anak itu disebut dwibahasawan (bilingual). Kalau yang diperolehnya labih dari dua bahasa secara berurutan anak itu disebut gandabahasawan (multilingual) (Ibid : 66). Kalau pemerolehan bahasa pertama itu dilakukan tanpa kesadaran, maka pemerolehan bahasa kedua itu dilakukan dengan kesadaran untuk mempelajarinya (Soenardjie, 1989 : 131). Karena dengan kesadaran inilah, maka secara teknik pemerolehan bahasa kedua itu bisa disebut kebelajaran bahasa ke dua (Ibid). Menurut hipotesis kognitivisme, seorang dewasa yang memperoleh bahasa ke dua juga mengalami proses yang sama seperti seorang anak, kecuali bahwa orang dewasa itu tidak mengalami tahap mengoceh, tahap dua tiga kata, dan sebagainya; tetapi mulai dengan menghubungkan bentuk dan fungsi bahasa; dan bahwa ia belajar mengungkapkan konsep-konsep baru dengan menggunakan bentuk-bentuk yang lama (Subyakto, 1988 : 92). Pemerolehan bahasa kedua ditinjau dari cara mendapatkannya, dapat dibagi menjadi dua bagian; pertama, yang disebut dengan perolehan bahasa kedua terpimpin, yaitu, bahasa didapatkan melalui pengajaran secara formal. Kedua, perolehan bahasa kedua secara alamiah, yaitu bahasa kedua didapat karena komunikasi sehari-hari; secara bebas dari pengajaran atau pimpinan guru. Perolehan seperti ini tidak ada keseragaman dalam caranya ( Ibid : 74-75).
H.     Urutan Perkembangan Pemerolehan Bahasa
Dalam pemerolehan bahasa pertama tentu saja tidak sekaligus langsung bisa atau lancar berbahasa; akan tetapi ada tahap-tahap yang akan dilalui oleh seorang anak. Seperti halnya perkembangan fisik dan kognitif seorang anak, turut berkembang pula kemampuannya dalam berbahasa. Dalam urutan perkembangan ini Tarigan (1988) membaginya atas tiga bagian: (a) perkembangan pra sekolah, (b) perkembangan ujaran kombinatori, dan (c) perkembangan masa sekolah. Dengan rinciannya sebagai berikut.
a. Perkembangan Prasekolah
Perkembangan prasekolah ini dapat dibagi lagi menjadi tiga bagian, yaitu : (1) perkembangan pralinguistik; (2) tahap satu kata dan (3) ujaran kombinasi permulaan.
b. Perkembangan Pralinguistik
Kecenderungan yang terjadi dalam pandangan orang bahwa perkembangan bahasa itu dimulai ketika seorang anak mengucapkan kata pertamanya. Padahal fakta membuktikan bahwa perkembangan bahasa atau komunikasi seorang anak dimulai dari sejak lahir. Kenyataan ini setidaknya didukung oleh dua fakta yang menunjang teori pembawaan lahir, yaitu : (1) kehadiran pada waktu lahir, struktur-struktur yang diadaptasi dengan baik bagi bahasa (walaupun pada mulanya tidak digunakan untuk berbahasa); dan (2) kehadiran perilaku-perilaku sosial umum dan juga kemampuan-kemampuan khusus bahasa pada beberapa bulan pertama kehidupan (Tarigan, 1988 : 14) Mengutip dari Trevanthen (1977) bahwa pada usia dua bulan sang anak memberikan responsi yang berbeda-beda terhadap orang dan objek (Ibid).
Ini menunjukkan bahwa sejak lahir bayi sudah diperlengkapi kemampuan untuk berinteraksi sosial. Sering terjadi perilaku ibu dan anak memperlihatkan pola alternasi atau perselang-selingan, sejenis sinkroni yang melibatkan kedua belah pihak (Ibid). Pada pasangan ibu dan anak cenderung terjadi pertukaran giliran dalam vokalisasi. Jika ibu lebih banyak diam maka anak yang lebih banyak bersuara. Demikian pula sebaliknya. Namun tumpang tindih bisa terjadi, dalam artian anak dan ibu sama-sama bersuara; ketika keduanya tertawa, sang ibu menegur anaknya yang sedang bersuara, atau ketika anak terganggu dan pembicaraan ibu yang menenangkan, demikan penjelasan yang disampaikan Schaffer (Ibid : 15). Menurut Tarigan (1988), selama tahun pertama anak mengembangkan sejumlah konsep dan kemampuan yang merupakan prasyarat penting bagi ekspresi linguistik.
c. Tahap Satu Kata
Pada tahap satu kata ini bukan berarti si anak hanya mampu mengatakan satu kali atau satu bentuk kata saja tidak dengan bentuk kata yang lain. Namun ia bisa saja mengucapkan kata yang berbeda dalam kesempatan yang lain. Dan ―satu kata yang dimaksudkan disini ialah jika si anak hanya mampu mengucapkan satu kata-satu kata saja dalam sebuah kesempatan.
Pada tahap ini dikenal pula sebagai tahap ―satu kata satu frase, kira-kira pada usia satu tahun seorang anak telah mengucapkan satu kata yang sama dengan satu frase atau kalimat, contoh : ―Mam (Saya minta makan); ―Pa (Saya mau papa di sini), ―Ma (Saya mau mama di sini). Dalam tahap ini diperkirakan bahwa kata-kata yang diucapkan mempunyai tiga fungsi, yaitu : (a) kata itu dihubungkan dengan perilakunya sendiri, atau suatu keinginan untuk suatu perilaku; (b) untuk mengungkapkan perasaan dan (c)untuk memberi nama kepada sesuatu benda. Yang paling menarik dan mengesankan bahwa dalam tahap ini seorang anak mampu mengekspresikan begitu banyak dengan kata yang begitu sedikit (Tarigan, 1988 : 16).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar