BAB
VI
PEMEROLEHAN BAHASA
A.
Tujuan Pembelajaran
Setelah membaca bab ini, diharapkan
Saudara dapat:
1. Menjelaskan
Pemerolehan Bahasa;
2. Menyebutkan
Komponen Pemerolehan Bahasa;
3. Menyebutkan
Proses pemerolehan Bahasa;
4. Menjelaskan
Fungsi Bahasa daalam Pemerolehan Bahasa;
5. Menjelaskan
masa kritis Proses Pemerolehan Bahasa;
6. Menjelaskan
Pemerolehan Bahasa Pertama;
7. Menjelaskan
Pemerolehan Bahasa Kedua.
B.
Batasan Pemerolehan Bahasa
Para psikolinguis lebih
suka memakai istilah pemerolehan bahasa (language acquisition) daripada
pembelajaran bahasa (language learning). Istilah pemerolehan bahasa dirasakan
lebih tepat dan sederhana (Lyons, 1981:252). Hal ini sesuai dengan penafsiran
bahwa pemerolehan bahasa ditujukan kepada proses pengahsilan pengetahuan bahasa
tanpa kualifikasi oleh penutur bahasa. Kedua istilah itu memang mamiliki
perbedaan. Pemerolehan bahasa (1) terjadi pada masa kanak-kanak, (2)
bermotovasi internal, ada tingkah laku dan komunikasi verbal, (3) data bahasa
tak terprogram, (4) tak ada guru (instruktur) formal; sedangkan pembelajaran
bahasa (1) terjadi kemudian jika performansi pertama sudah tetap, (2)
bermotivasi eksternal, ada faktor kebutuh-an dan kemanfaatan, (3) berlangsung
dengan program terencana, dan (4) ada guru (instruktur) formal.
Jelaslah bahwa
pemerolehan bahasa terjadi secara alamiah pada masa kanak-kanak. Karena itu,
Kiparsky (1977) menjelaskan bahwa pemerolehan bahasa itu proses yang dipakai
oleh kanak-kanak untuk menyesuaikan serangkai- an hipotesis yang makin
bertambah rumit atau teori-teori yang masih terpendam yang mungkin terjadi
dengan ucapan orang tuanya sampai dia memilih menurut ukuran penilaian tata
bahasa yang terbaik dan sederhana dari bahasanya. Lebih khusus lagi,
Simanjuntak (1987:157) menjelaskan bahwa pemerolehan bahasa merupakan proses
yang terjadi dalam otak kanak-kanak (bayi) sewaktu memperoleh bahasa ibunya.
Jadi, pemerolehan bahasa melibatkan bahasa pertama, yang berbeda dengan
pembelajaran bahasa yang melibatkan bahasa kedua atau bahasa asing.
Penelitian tentang
perkembangan bahasa anak telah lama dan banyak dilakukan seperti di Jerman,
Perancis, dan Inggris selama paruh akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Salah
seorang yang menonjol di Amerika Serikat, G. Stanley Hall, telah berkecimpung
di bidang psikologi perkembangan. Ia tertarik untuk mengetahui ―isi otak anak‖. Hasil penelitian Hall
ini menjadi inspirasi bagi para peneliti perkembangan bahasa anak di Amerika
Serukat.
Sejak itulah
bermunculan berbagai penelitian mengenai perkembangan bahasa anak, baik yang
dilakukan oleh linguis maupun oleh psikolog atau psikolinguis. Berbagai upaya,
metodolgi dan pandangan yang berbeda lahir dari penelitian pemerolehan bahasa
itu. Akibatnya, lahir berbagai pokok dan tokoh dalam pemerolehan bahasa.
Dalam tulisan ini disajikan berbagai
teori pemerolehan bahasa, baik yang berkaitan dengan pokok pembicaraannya,
maupun dengan pedekatannya.
C.
Komponen Pemerolehan Bahasa
Komponen bahasa itu
berkaitan erat dengan kaidah bahasa. Chomsky (1965) menjelaskna bahwa kaidah
(tata)bahasa mel;iputi komponen: fonologi, sintaksis, dan semantik. Sintaksis
merupakan komponen sentral yang konsisten dengan pnguasaan kaidah dan leksikon
untuk menurunkan struktur batin dan struktur lahir yang
dihubungkan melalui kaidah transformasi. Singkatnya, komponen
pemerolehan bahasa itu meliputi komponen (1) fonologi, (2) sintaksis, dan (3)
semantik.
D.
Proses Pemerolehan Bahasa
Proses yang terjadi
ketika anak memperoleh bahasa ibunya itu meliputi dua aspek: performansi dan
kompetensi. Performansi merupakan pelaksanaan kemampuan bahasa secara
nyata (aktual) berupa ujaran yang dihasilkan bahasawan seperti berbicara,
menyimak, membaca, dan menulis. Kompetensi merupakan pengetahuan tentang
bahasa yang bersifat abstak dan tidak sadar.
Umumnya proses brbahasa digambarkan
berikut ini.
E.
Fungsi Bahasa dalam Pemerolehan
Bahasa
Pemerolehan bahasa anak
berarti proses anak mulai mengenal komuni-kasi dengan ligkungannya secara
verbal. Anak-anak (0-7 tahun) berbahasa sebagai pranata sosial dan sistem
lambang komunikasi. Halliday (1975) menyebutkan 7 fungsi bahasa yakni fungsi
(1) instrumental, (2) regulasi, (3) interaksional, (4) personal, (5) heiristik,
(6) representasional, dan (7) imajinatif.
Wood (1981) menggambarkan fungsi bahasa
dengan fase pemerolehan bahasa sebagai berikut.
a. Fase
I (9-16 bulan): bunyi dan makna dengan fungsi bahasa regulasi, instrumental,
interaksional, heuristik, personal, dan imajinatif.
b. Fase
II (16-24 bulan): tata bahasa dan dialog dengan fungsi bahasa pragmatik
dan matetik.
c. Fase
III (24 bulan - …): teks dengan fungsi bahasa interpersonal dan ideasional.
E. Masa Kritis Proses Pemerolehan Bahasa
Penfield & Robets
berpendapat bahwa secara neurologis anak usia 2-12 tahun memiliki kemampuan
terbatas untuk berbahasa. masa ini merupakan masa pemerolehan bahasa secara
khusus karena otak platis bahasa anak berkembang. Masa ini oleh Lenneberg (1969) disebut masa
kritis karena anak yang tidak mengalami proses sosial berbahasa sampai dengan
usia lewat masa kritis akan mengalami kesulitan dan keterlambatan berbahasa.
Lenneberg membagi masa kritis berbahasa sebagai berikut.
Tabel 1. Masa kritis
Perkembangan Proses Berbahasa Usia
|
Proses Berbahasa
|
0 - - 3 bulan
|
Mendengkur
|
4 – 20 bulan
|
Proses meraban sampai kata tunggal
|
21-36 bulan
|
Proses pemerolehan bahasa
|
03-10 tahun
|
Pemurnian tata bahasa dan penambahan
kosa kata
|
11-14 tahun
|
Pemunculan intonasi asing
|
F.
Pemerolehan
Bahasa Pertama
Sebagaimana yang telah
dibahas bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan
oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerjasama, berkomunikasi, dan
mengidentifikasikan diri. Dari kata kelompok sosial yang terdapat pada definisi
ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa bahasa itu akan diperoleh pula melalui
interaksi sosial; apa jadinya jika seorang manusia dipisahkan atau terpisah
dari kelompok sosial sejak lahir; bahasa apa yang akan ia gunakan?. Pernah
terjadi pada abad ke-19, seorang anak ditemukan di hutan Averyron yang
dipelihara oleh serigala selama bertahun-tahun.
Ketika ia diketemukan
ia merangkak dan melolong bak serigala. Seorang dokter yang bernama Itard
mengajarkannya bahasa manusia pada umur 12 tahun tapi tidak berhasil dan ia
hanya bisa mengucapkan beberapa kata saja. Anak itu diberi nama Victor, anak
liar dari Averyron (Rakhmat, 1986: 282). Penemuan Victor ini membuktikan bahwa,
jika seorang manusia terpisah dari kelompok sosial ia tidak sanggup untuk
berbicara. Padahal seorang anak yang berumur 4 tahun saja sudah mampu berdialog
dengan kawan-kawannya dalam bahasa ibunya. Barangkali sekarang yang menjadi
pertanyaan adalah bagaimana mana seorang anak bisa memperoleh bahasa, padahal
ia belum pernah belajar tentang tata bahasa? Bagaimana ia dapat menangkap arti
kata-kata tanpa menggunakan kamus? Tentang teori pemerolehan bahasa pertama ini
atau sering disebut bahasa Ibu; dalam psikologi terdapat dua teori: teori
belajar dari behaviorisme dan teori nativisme dari Noam Chomsky.
Dalam pandangan
behaviorisme, sistem respons yang diperoleh manusia ialah melalui sistem
―membiasakan (conditioning), atau
pengulangan-pengulangan bentuk-bentuk bahasa sehingga anak tidak lagi membuat
kesalahan dalam perlakuan bahasa pertamanya (Utari Subyakto, 1988: 89). Dan
menurut Skinner–salah seorang ahli psikologi (1957), dari sekian banyak ocehan
anak (babbling), hanya bunyi-bunyian
tertentu yang digunakan anak yang diperkuat oleh orang-orang dewasa
sekelilingnya, karena bunyi-bunyi itu yang dipakai berkomunikasi, sedang
bunyi-bunyi yang tidak berguna karena tidak dipakai oleh orang-orang dewasa
akan dilupakan atau dibuang dari ingatan anak itu (Ibid). Namun menurut
Chomsky, bila anak harus belajar hanya dengan sekedar membiasakan saja, paling
tidak diperlukan waktu tiga puluh tahun untuk mampu menguasai 1000 kata saja.
Kata Chomsky teori behaviorisme tidak dapat menjelaskan fenomena belajar
bahasa; teori ini tidak dapat menjelaskan mengapa anak berhasil membuat
kalimat-kalimat yang tidak pernah mereka dengar, atau melahirkan kata-kata baru
atau susunan kalimat baru yang tidak pernah diucapkan oleh orang tuanya.
Menurut Chomsky, setiap anak mampu menggunakan suatu bahasa karena adanya
pengetahuan bawaan (preexistent knowledge) yang telah diprogram secara genetik
dalam otak kita.
Pengetahuan ini disebut
L.A.D. – Language Acquisition Device – (Rakhmat, 1986 : 283). Memang bahasa di
dunia ini berbeda-beda tetapi mempunyai kesamaan dalam struktur pokok yang
mendasarinya, istilah yang dipakai oleh Chomsky untuk ini adalah linguistik
universal . karena kemampuan inilah anak-anak bisa mengenal hubungan diantara
bentuk-bentuk bahasa ibunya dengan bentuk-bentuk yang terdapat dalam tata
bahasa struktur dalam yang sudah terdapat pada kepalanya yang menyebabkan anak
secara alamiah mengucapkan kalimat-kalimat yang sesuai dengan peraturan bahasa
mereka (Ibid : 284). Begitu pula yang dikatakan Soblin, bahwa seorang anak
lahir dengan seperangkat prosedur dan aturan bahasa; namun ia tidak menganggap
bahwa yang dibawa lahir itu pengetahuan seperangkat kategori linguistik yang
semesta atau yang biasa disebut linguistik universal ; prosedur-prosedur dan
aturan-aturan bahasa yang dibawa lahir itulah yang memungkinkan seorang anak
untuk mengolah data linguistik, dan yang menjadi faktor penentu perolehan
bahasa ialah perkembangan umum kognitif dan mental anak (Utari Subyakto, 1988 :
90).
Dengan bertambahnya
kemampuan kognitif anak, ia mulai mampu melepaskan diri dari situasi ―sekarang
dan tempat ini‖
dan mampu memikirkan dirinya berada dalam waktu dan di tempat lain, kemajuan
ini memungkinkan anak untuk mengungkapkan makna-makna baru secara bertahap
(Ibid). Yang menjadi bukti adanya kemampuan dasar berbahasa ialah dengan
ditemukannya daerah Broca dan Wernicke pada otak manusia. Rakhmat (1986 : 284)
menjelaskan bahwa daerah Broca mengatur sintaksis, sehingga gangguan atau
kerusakan pada daerah ini menyebabkan orang berbicara terpatah-patah dengan
susunan kata yang tidak teratur, sedangkan kerusakan di daerah Wernicke
menyebabkan orang berbicara lancar tetapi tidak mempunyai arti. Dengan
keterangan ini menjelaskan bahwa otak manusia itu tidaklah polos seperti kertas
yang kosong, tetapi lebih tepatnya ialah organ yang telah dilengkapi dengan
program-program – baca kemampuan-kemampuan bawaan. Tinggal bagaimana kemampuan
ini akan ditambah atau dikembangkan dengan belajar.
Di Philadelphia pernah diadakan
penelitian tentang anak-anak bisu yang tidak diajari bahasa isyarat, dan
ditemukan ketika anak-anak itu berusia 3 atau 4 tahun mereka telah membuat
bahasa isyarat tersendiri. Mereka dapat membedakan subyek, predikat dan objek;
dengan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam otak anak sudah tersedia
prinsip-prinsip berbahasa yang bukan merupakan hasil belajar (Ibid : 285).
G.
Pemerolehan Bahasa
Kedua
Pada masa kanak-kanak bisa dikatakan memperoleh bahasa ,
sebab anak-anak mendapatkan kemampuan berbahasa itu tanpa sadar bahwa mereka
sedang menghimpun kaidah pemakaian bahasa sambil berkomunikasi dengan
lingkungannya (Soenardjie, 1989 : 131). Kebanyakkan orang di dunia ini tidak
hanya menggunakan satu bahasa saja dalam hidupnya, tidak mustahil ketika
kanak-kanak pun sudah terbiasa dengan lebih dari satu bahasa; misalkan ketika
di rumah dan di luar rumah, orang tuanya menggunakan bahasa yang berbeda.
Meskipun ketika kanak-kanak sudah mendapatkan dua bahasa, misalnya; bahasa
Indonesia dan bahasa daerah, tapi tetap saja keduanya dianggap sebagai bahasa
pertamanya (Subyakto, 1988 : 65). Orang yang seperti ini bisa dikatakan sebagai
―dwibahasawan yang alamiah‖. Mengenai istilah yang digunakan untuk
pemeroleh bahasa pertama, jika mendapat satu bahasa disebut ekabahasawan
(monolingual), kalau yang diperolehnya dua bahasa baik secara bersamaan ataupun
berurutan anak itu disebut dwibahasawan (bilingual). Kalau yang diperolehnya
labih dari dua bahasa secara berurutan anak itu disebut gandabahasawan
(multilingual) (Ibid : 66). Kalau pemerolehan bahasa pertama itu dilakukan
tanpa kesadaran, maka pemerolehan bahasa kedua itu dilakukan dengan kesadaran
untuk mempelajarinya (Soenardjie, 1989 : 131). Karena dengan kesadaran inilah,
maka secara teknik pemerolehan bahasa kedua itu bisa disebut kebelajaran bahasa
ke dua (Ibid). Menurut hipotesis kognitivisme, seorang dewasa yang memperoleh
bahasa ke dua juga mengalami proses yang sama seperti seorang anak, kecuali
bahwa orang dewasa itu tidak mengalami tahap mengoceh, tahap dua tiga kata, dan
sebagainya; tetapi mulai dengan menghubungkan bentuk dan fungsi bahasa; dan
bahwa ia belajar mengungkapkan konsep-konsep baru dengan menggunakan
bentuk-bentuk yang lama (Subyakto, 1988 : 92). Pemerolehan bahasa kedua
ditinjau dari cara mendapatkannya, dapat dibagi menjadi dua bagian; pertama,
yang disebut dengan perolehan bahasa kedua terpimpin, yaitu, bahasa didapatkan
melalui pengajaran secara formal. Kedua, perolehan bahasa kedua secara alamiah,
yaitu bahasa kedua didapat karena komunikasi sehari-hari; secara bebas dari
pengajaran atau pimpinan guru. Perolehan seperti ini tidak ada keseragaman
dalam caranya ( Ibid : 74-75).
H.
Urutan Perkembangan Pemerolehan Bahasa
Dalam pemerolehan bahasa pertama
tentu saja tidak sekaligus langsung bisa atau lancar berbahasa; akan tetapi ada
tahap-tahap yang akan dilalui oleh seorang anak. Seperti halnya perkembangan
fisik dan kognitif seorang anak, turut berkembang pula kemampuannya dalam
berbahasa. Dalam urutan perkembangan ini Tarigan (1988) membaginya atas tiga
bagian: (a) perkembangan pra sekolah, (b) perkembangan ujaran kombinatori, dan
(c) perkembangan masa sekolah. Dengan rinciannya sebagai berikut.
a. Perkembangan Prasekolah
Perkembangan prasekolah ini dapat dibagi
lagi menjadi tiga bagian, yaitu : (1) perkembangan pralinguistik; (2) tahap
satu kata dan (3) ujaran kombinasi permulaan.
b. Perkembangan Pralinguistik
Kecenderungan yang terjadi dalam
pandangan orang bahwa perkembangan bahasa itu dimulai ketika seorang anak
mengucapkan kata pertamanya. Padahal fakta membuktikan bahwa perkembangan
bahasa atau komunikasi seorang anak dimulai dari sejak lahir. Kenyataan ini
setidaknya didukung oleh dua fakta yang menunjang teori pembawaan lahir, yaitu
: (1) kehadiran pada waktu lahir, struktur-struktur yang diadaptasi dengan baik
bagi bahasa (walaupun pada mulanya tidak digunakan untuk berbahasa); dan (2)
kehadiran perilaku-perilaku sosial umum dan juga kemampuan-kemampuan khusus
bahasa pada beberapa bulan pertama kehidupan (Tarigan, 1988 : 14) Mengutip dari
Trevanthen (1977) bahwa pada usia dua bulan sang anak memberikan responsi yang
berbeda-beda terhadap orang dan objek (Ibid).
Ini menunjukkan bahwa sejak lahir bayi
sudah diperlengkapi kemampuan untuk berinteraksi sosial. Sering terjadi
perilaku ibu dan anak memperlihatkan pola alternasi atau perselang-selingan,
sejenis sinkroni yang melibatkan kedua belah pihak (Ibid). Pada pasangan ibu
dan anak cenderung terjadi pertukaran giliran dalam vokalisasi. Jika ibu lebih
banyak diam maka anak yang lebih banyak bersuara. Demikian pula sebaliknya.
Namun tumpang tindih bisa terjadi, dalam artian anak dan ibu sama-sama
bersuara; ketika keduanya tertawa, sang ibu menegur anaknya yang sedang
bersuara, atau ketika anak terganggu dan pembicaraan ibu yang menenangkan,
demikan penjelasan yang disampaikan Schaffer (Ibid : 15). Menurut Tarigan
(1988), selama tahun pertama anak mengembangkan sejumlah konsep dan kemampuan
yang merupakan prasyarat penting bagi ekspresi linguistik.
c. Tahap Satu Kata
Pada tahap satu kata ini bukan berarti
si anak hanya mampu mengatakan satu kali atau satu bentuk kata saja tidak
dengan bentuk kata yang lain. Namun ia bisa saja mengucapkan kata yang berbeda
dalam kesempatan yang lain. Dan ―satu kata‖ yang dimaksudkan disini ialah jika si
anak hanya mampu mengucapkan satu kata-satu kata saja dalam sebuah kesempatan.
Pada tahap
ini dikenal pula sebagai tahap ―satu kata satu frase‖, kira-kira pada usia satu tahun seorang anak telah mengucapkan
satu kata yang sama dengan satu frase atau kalimat, contoh : ―Mam‖ (Saya minta makan); ―Pa‖ (Saya mau papa di sini), ―Ma‖ (Saya mau mama di sini). Dalam tahap ini diperkirakan bahwa
kata-kata yang diucapkan mempunyai tiga fungsi, yaitu : (a) kata itu
dihubungkan dengan perilakunya sendiri, atau suatu keinginan untuk suatu
perilaku; (b) untuk mengungkapkan perasaan dan (c)untuk memberi nama kepada
sesuatu benda. Yang paling menarik dan mengesankan bahwa dalam tahap ini
seorang anak mampu mengekspresikan begitu banyak dengan kata yang begitu
sedikit (Tarigan, 1988 : 16).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar