Selasa, 14 Oktober 2014

SASTRA INDONESIA 1111

HAKIKAT NOVEL
A. Pengertian Novel
Novel merupakan salah satu jenis karangan prosa. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh H.B Jassin (1977: 64), yaitu novel merupakan karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang (tokoh), luar biasa karena kejadian ini terlahir dari suatu konfliik, suatu pertikaian, yang mengalihkan jurusan nasib tokoh tersebut.
Menurut Suroto (1990:4), karangan prosa adalah karangan yang menerangjelaskan secara terurai mengenai suatu masalah atau hal atau peristiwa dan lain-lain. Novel tergolong ke dalam jenis karagan prosa baru. Lebih lanjut dijelaskan beberapa ciri dari prosa baru antara lain: (1) prosa baru bersifat dinamis yang senantiasa berubah sesuai dengan perkembangan masyarakatnya; (2) masyarakatnya sentris, yaitu cerita mengambil bahan dari kehidupan masyarakat sehari-hari; (3) bentuknya roman, novel, cerpen, kisah, drama; (4) terutama dipengaruhi kesusastraan barat; dan (5) diketahui siapa pengarangnya karena dinyatakan dengan jelas.
Ada beragam istilah novel yang dikenal di beberapa negara. Dalam Bahasa Jerman disebut novelle. Sedangkan dalam bahasa perancis disebut nouvelle. Kedua istilah tersebut dipakai dalam pengertian yang sama yaitu prosa yang agak panjang dan sederhana karena hanya menceritakan maksud kejadian yang memunculkan suatu konflik yang mengakibatkan adanya perubahan nasib pelakunya. Dalam bahasa Italia, novel disebut novella. Secara harfiah novella berarti sebuah barang baru yang kecil, dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa (Abrams, 1981: 119). Dalam perkembangannya, istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelet, yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, nam un juga tidak terlalu pendek (Burhan Nurgiantoro, 2002: 9).
Novel adalah salah satu jenis karya fiksi. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Kelley Griffith Jr: “We commonly use the term fiction to describe prose works that tell a story (short story and novels)” (1986:33).
Berkaitan dengan pengertian novel sebagai karya sastra berbentuk prosa fiksi, perlu juga diahami terlebih dahulu pengertian fiksi. Abrams (1971:59) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan fiksi adalah:
Fiction in the inclusive sense, is any narrative which is feigned or invented rather than historically or factually true. In most present day discussion, however, the term fiction is applied primarily to prose narrative (the novel and the story), and is sometimes used simply as synonym for novel.
Berdasarkan pendapat Abrams dapat dijelaskan bahwa fiksi adalah cerita rekaan atau dibuat-buat, sedangkan yang termasuk fiksi adalah novel dan cerpen. Namun, kadangkala fiksi juga sering digunakan sebagai sinonim dari novel.
Herman J. Waluyo sependapat dengan Abrams, bahwa yang dimaksud karya fiksi adalah:
Fiksi dari kata fiction yang artinya hasil khayalan atau sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Cerita-cerita sastra, seperti roman, novel, dan cerita pendek diklasifikasikan sebagai prosa fiksi, sedangkan prosa yang bukan karya sastra yang merupakan deskripsi dari kenyataan dinyatakan prosa non fiksi, misalnya: biografi, catatan harian, laporan kegiatan, dan sebagainya yang merupakan karya yang bukan hasil imajinasi (2009:1).
Selanjutnya Nugraheni E. Wardhani menjelaskan tentang kedudukan prosa dengan istilah fiksi yang diramu dari beberapa pendapat ahli sastra sebagai berikut.
Ahli sastra sering menyebut prosa dengan istilah fiksi, teks naratif, atau wacana naratif. Istilah fiksi dipergunakan untuk menyebutka karya naratif yang isisnya perpaduan antara kenyataan dan imajinatif. Tidak semua fiksi sepenuhnya merupakan khayalan. Dunia fiksi berada di samping dunia realitas. Pengarang dalam menciptakan karya sastranya selalu menghubungkan tokoh-tokoh, latar peristiwa, dengan tokoh, latar dan peristiwa seperti yang ada dalam kehidupan nyata (2009:13).
Dari penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa novel merupakan salah satu jenis karya fiksi, namun dalam perkembangannya novel dianggap bersinonim dengan fiksi, sehingga fiksi berlaku juga bagi novel.
Abrams juga menjelaskan bahwa novel adalah cerita pendek yang diperpanjang, dan yang setengah panjang disebut roman.
The term of novel is no applied to greas variety of writings that have in common only the attribute of being extended works of prose fiction. As an extended narrative, the novel is distinguished from the shortstory and from the work of middle length called the novellet (1971:110).
Fiksi merupakan salah satu genre sastra yang kian berkembang dan digemari masyarakat. Hal itu disebabkan dalam karya fiksi disuguhkan berbagai masalah kehidupan dalam hubungannya dengan sesame dan lingkungan. Menurut Burhan Nurgiantoro (1995: 163), dalam novel disajikan sebuah dunia, dunia imajiner yang dibangun melalui cerita, tokoh, peristiwa demi peristiwa, dan latar yang semuanya bersifat imajiner.
Senada dengan hal tersebut, Goldmann menjelaskan bahwa novel didefinisikan sebagai cerita mengenai pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik dalam dunia yang juga terdegradasi (Faruk, 2010:73-74). Pencarian tersebut dilakukan oleh seorang hero yang problematik. Lebih lanjut dijelaskan, nilai-nilai yang otentik itu adalah totalitas yang secara tersirat muncul dalam novel, nilai-nilai yang mengorganisasi sesuai dengan mode dunia sebagai totalitas. Nilai-nilai otentik itu hanya dapat dilihat dari kecenderungan terdegradasinya dunia dan problematikanya sang hero. Karena itu, nilai-nilai itu hanya ada dalam kesadaran penulis/ pengarang/ novelis, dengan bentuk konseptual dan abstrak.
Henry Guntur Tarigan, (1984: 164) menjelaskan mengenai pengertian novel yang merupakan suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang yang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak, serta adegan kehidupan nyata yang representative dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau dan kusut. Selain itu, dalam buku “The Advance Learner’s Dictonary of Current English”, dapat diperoleh keterangan yang menyatakan bahwa novel adalah suatu cerita dengan suatu alur, cukup panjang mengisi satu buku atau lebih, yang menggarap kehidupan pria dan wanita yang bersifat imajinatif.
Pada kenyataannya, novel juga lahir karena adanya reaksi terhadap suatu keadaan di dalam masyarakat sehingga novel menceritakan latar kehidupan manusia di dalam masyarakat. Sebagaimana diungkapkan oleh Korrie Layun Rampan (1984:7) yang menyatakan bahwa novel adalah penggambaran lingkungan kemasyarakatan serta jiwa tokoh yang hidup di suatu masa di suatu tempat. Secara sosiologis, manusia manusia dan peristiwa dalam novel adalah pantulan realitas yang dicerminkan oleh pengarang dari suatu keadaan tertentu dalam suatu masyarakat dan tempat tertentu.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa novel merupakan karangan yang melukiskan perbuatan pelakunya menurut isi dan jiwanya masing-masing yang diolah menjadi sebuah kisah sesuai dengan tujuan pengarang.
1. Jenis-Jenis Novel
Menurut Jacob Sumardjo (1983: 10-11), ada dua jenis novel, yaitu novel pop dan novel serius. Penjelasannya sebagai berikut:
1) Novel Pop
Ada beberapa ciri dari novel pop, yaitu: (1) temanya selalu menceritakan kisah asmara belaka tanpa masalah lain yang lebih serius; (2) terlalu menekankan plot cerita sehingga mengabaikan karakterisasi, problematika kehidupan dan unsur novel lainnya; (3) biasanya cerita disampaikan dengan gaya emosional; (4) cerita yang dibahas kadang tidak nyata dalam kehidupan; (5) karena cerita ditulis untuk konsumsi massa, maka pengarang rata-rata tunduk pada hukum cerita konvensional; (6) bahasa yang dipakai adalah bahasa aktual, yang hidup di kalangan muda-mudi kontemporer.
2) Novel Serius
Ada beberapa ciri dari novel serius, yaitu: (1) tema tidak hanya berputar pada masalah cinta tetapi juga membuka diri terhadap semua masalah yang penting untuk menyempurnakan hidup manusia; (2) cerita diimbangi dengan bobot lain selain alur cerita, seperti karakterisasi, setting cerita, tema, dan sebagainya; (3) selalu membahas masalah secara mendalam dan mendasar; (4) peristiwa yang ada daam cerita bisa dialami atau sudah dialami oleh manusia pada saat kapan saj; (5) selalu bergerak, segar, baru dan inovatif; (6) bahasa yang dipakai adalah bahasa standar, bukan mode sesaat.
Selain jenis-jenis novel tersebut, Goldmann juga mengklasifikasikan novel. Novel dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1) Novel Idealisme Abstrak
Jenis novel ini menampilkan tokoh yang ingin bersatu dengan dunia, karena itulah novel ini masih memperlihatkan suatu idealisme. Akan tetapi, karena persepsi tokoh itu tentang dunia bersifat subjektif, didasarkan pada kesadaran yang sempit, idealismenya menjadi abstrak.
2) Novel Romantisme Keputusasaan
Jenis novel ini menampilkan kesadaran hero yang terlampau luas. Kesadarannya lebih luas daripada dunia sehingga menjadi berdiri sendiri dan terpisah dari dunia. Itulah sebabnya, sang hero cenderung pasif dan cerita berkembang menjadi analisis psikologis semata-mata.
3) Novel Pendidikan
Pada jenis novel ini, sang hero di satu pihak mempunyai interioritas, tetapi di lain pihak juga ingin bersatu dengan dunia. Karena ada interaksi antara dirinya dengan dunia, hero itu mengalami kegagalan namun dia menyadari penyebab dari kegagalan tersebut.
2. Struktur Novel
Menurut Jacob Sumardjo (1999:2-3), novel dalam kesusastraan merupakan sistem bentuk. Ada dua unsure yang membentuknya yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara factual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur-unsur yang dimaksud yaitu: peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain.
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tdak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organism karya sastra. Seperti halnya unsur intrinsic, unsur ekstrinsik juga terdiri dari beberapa unsur. Unsur-unsur yang dimaksud (Wellek dan Waren, 1993:79-153) antara lain: unsur biografi pengarang, unsur psikologi, ekonomi, sosial budaya, pandangan hidup suatu bangsa, dan sebagainya.
Berikut penjelasan mengenai unsur intrinsik, yaitu: Tema dan Amanat Sebuah novel ditulis bukan hanya sekedar menuturkan sebuah cerita, tetapi ada sesuatu yang akan diberitahukan pengarang kepada pembaca. Ada masalah yang cukup penting bagi kehidupan yang hendak disampaikan oleh pengarangnya, masalah itu dinamakan tema.
Tema adalah sesuatu yang menjadi pikiran pengarang dan sesuatu yang menjadi persoalan pengarang. Pengarang dalam menulis ceritanya bukan sekedar hanya cerita, tetapi akan menyatakan sesuatu kepada pembacanya. Sesuatu yang akan dikatakannya itu dapat berupa suatu masalah kehidupan, pandangan hidupnya tentang kehidupan, atau komentarnya tentang kehidupan. Tema adalah suatu pokok persoalan yang sudah dipikirkan oleh pengarang yang menjadi dasar dari cerita yang dibuatnya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Kelley Griffith: Theme is the central idea in the work-whether fiction, poetry, or drama. It is the comment the work makes on the human condition. It deals with four general areas of human experience: the nature of humanity, the nature of society, the nature of humankind’s relationship to the world, and the natre of our ethical responsibilities. Untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, ia haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya bedasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Tema, walau sulit ditentukan secara pasti, bukanlah makna yang “disembunyikan” walau belum tentu juga dilukiskan secara eksplisit. Tema sebagai makna pokok sebuah karya fiksi tidak (secara sengaja) disembunyikan justru karena hal inilah yang ditawarkan kepada pembaca. Namun tema merupakan makna keseluruhan yang mendukung cerita, dengan sendirinya ia akan “tersembunyi” di balik cerita yang mendukungnya. Pengarang biasanya tidak hanya menuangkan masalah-masalah saja. Dalam masalah yang diolah dan dikembangkan itu biasanya disertakan pemecahan dari masalah tersebut atau pemecahan tema yang telah diuraikan dalam cerita. Pemecahan tema itulah dinamakan amanat. Ratna berpendapat bahwa sebuah karya sastra diciptakan tidak hanya melalui imajinasi dan kreatifitas sebagai hasil kontemplasi secara individual. Lebih dari itu karya sastra ditujukan untuk menyampaikan suatu pesan kepada orang lain sebagai komunikasi. Misi yang ingin disampaikan pengarang melalui daya imajinasinya melihat fakta-fakta sosial secara multidimensional disebut dengan amanat dan pesan moral terefleksi dari jalan keluar sebuah masalah (2004:298). Menurut Panuti Sudjiman, amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar (1984: 5). Jadi, amanat cerita itu merupakan ide penting yang dituangkan dalam karya sastra. Bedasarkan gejala dalam masyarakat, pengarang menggubah suatu karya. Kemudian gejala itu akan dibandingkan dengan ide yang ada pada pengarang itu sendiri. Hasil perbandingan itu diharapkan masyarakat dapat menyimpulkan mana yang terbaik. Tokoh dan Penokohan Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau pelaku dalam berbagai peristiwa sebuah cerita (Sudjiman, 1988:17). Seperti yang juga dijelaskan oleh Kelley Griffith: Characters are the people in narratives, and characterization is the author’s presentation and development of characters. Sometimes, as in fantasy fiction, the characters are not people. They may be animals, or robots, or creatures from outer space, but the author gives them human abilities and human psychological traits. Thus they really are people in all but outward form (1986:46). Jadi, melalui tokoh itulah peristiwa dalam suatu ketika dapat terjalin, karena peristiwa atau kejadian yang terjadi merupakan hasil dari hubungan antartokoh. Tokoh merupakan bagian struktur cerita yang menyebabkan cerita dapat digerakkan.
Penokohan menurut Nurgiyantoro adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Tokoh adalah orang- (orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (1994: 165). Penokohan menurut Burhan Nurgiyantoro memiliki pengertian yang lebih luas lagi. Penokohan sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita (1994: 166). Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnnya tokoh dalam sebuah cerita, tokoh dibedakan menjadi dua golongan, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Menurut Nurgiyantoro, tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian (1994: 177). Tokoh-tokoh utama ini juga selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain sehingga sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Di pihak lain tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tak langsung. Dilihat dari penampilan tokoh, tokoh dibedakan menjadi dua golongan, yaitu tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Menurut Nurgiyantoro, tokoh protagonis menampilkan seuatu yang sesuai dengan pandangan kita, harapan-harapan kita pembaca (1994: 178). Sedang tokoh antagonis adalah tokoh yang beroposisi dengan tokoh protagonis. Kebanyakan tokoh antagonis adalah tokoh yang memunculkan konflik dalam cerita.Sebuah fiksi harus mengandung konflik, ketegangan, khususnya konflik dan ketegangan yang dialami oleh tokoh protagonis. Tokoh penyebab terjadinya konflik tersebut disebut tokoh antagonis (1994: 129). Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan kedalam tokoh sederhana dan tokoh kompleks. Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat-watak tertentu saja. Ia tak memiliki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca. Sedang tokoh komplek adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Ia dapat saja memiliki watak tertentu yang dapat diformalisasikan, namun ia pun dapat pula menampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam, bahkan mungkin bertentangan dan sulit diduga. Berdasarkan berkembang atau tidaknya perwatakkan tokoh-tokoh cerita dalam sebuah novel, tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh statis, dan tokoh berkembang. Tokoh statis adalah tokoh yang cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi (Nurgiyantoro, 1994: 188). Sedang tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan plot yang dikisahkan. Berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap (kelompok) manusia dari kehidupan nyata, Nurgiyantoro membagi dua, yaitu tokoh tipikal dan tokoh netral (1994: 190). Tokoh tipikal merupakan penggambaran, pencerminan, atau penunjukkan terhadap orang, atau sekelompok orang yang terikat dalam sebuah lembaga, atau seorang individu sebagai bagian dari suatu lembaga, yang ada di dunia nyata. Sedang tokoh netral adalah tokoh yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Ia benar-benar merupakan tokoh imajiner yang hanya hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi. Alur
Alur merupakan satu unsur dari struktur sebuah novel dan juga merupakan benang halus yang menghubungkan dalam mengikat tiap-tiap peristiwa dalam cerita sehingga menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tiap-tiap peristiwa itu merupakan bagian dari keseluruhan cerita. Oleh sebab itu jika ada salah satu bagian yang dihilangkan janggalah cerita itu. jadi segala peristiwa berhubungan secara runtun. Alur yang baik adalah alur yang dapat membantu mengungkapkan tema dan amanat dari peristiwa-peristiwa serta ada hubungan kausalitas atau sebab akibat yang wajar antara peristiwa satu dengan yang lainnya. Alur juga sering disebut dengan kata plot. Plot tidak hanya sekedar rangkaian peristiwa yang memuat topik-topik tertentu, melainkan mencakup alasan sebab akibat terjadinya peristiwa. Plot tidak hanya dilihat dari jalannya peristiwa, akan tetapi lebih jauh lagi dianalisis bagaimana urgensi peristiwa-peristiwa yang muncul tersebut mampu membangun tegangan atau konflik. Culler (dalam Fananie, 2000:93-94) mengatakan kedudukan satu peristiwa dengan peristiwa lain harus diletakkan dalam rangkaian sekuen kualitas hubungan sebab akibat. Perkembangan karakter pelaku, hubungan dengan latar, atau penyusunan dari rangkaian peristiwa itu sendiri. Hal itu diistilahkan squance of action. Plot merupakan unsur fiksi yang paling penting, bahkan tak sedikit orang yang menganggapnya sebagai yang tetpenting di antara berbagai unsur fiksi yang lain. Tinjauan struktural terhadap karya fiksipun sering lebih ditekankan pada pembicaraan plot, walau mungkin mempergunakan istilah lain. Masalah linearitas struktur penyajian peristiwa dalam karya fiksi banyak dijadikan objek kajian. Burhan Nurgiyantoro berpendapat bahwa peristiwa, konflik, dan klimaks merupakan tiga unsur yang amat esensial dalam pengembangan sebuah plot cerita. Eksistensi plot itu sendiri sering sangat ditentukan oleh ketiga unsur tersebut. Demikian pula halnya dengan masalah kualitas dan kadar kemenarikan sebuah cerita fiksi. Ketiga unsur itu mempunyai hubungan yang mengerucut: jumlahnya cerita dalam karya fiksi banyak sekali, namun belum tentu semuanya mengandung konflik, apalagi konflik utama. Jumlah konflik juga relatif masih banyak, namun hanya konflik-(konflik) tertentu yang dapat dipandang sebagai klimaks (1994: 117). Pembedaan plot bedasarkan urutan waktu dibagi menjadi tiga., yaitu plot lurus, plot sorot-balik, dan plot campuran. Plot sebuah novel dikatakan lurus jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa-(peristiwa) yang pertama diikuti oleh (atau:menyebabkan terjadinya) peristiwa-peristiwa yang kemudian. Atau, secara runtutan cerita di mulai dari tahap tengah, awal , dan akhir. Sedang plot sorot balik, urutan kejadian dikisahkan secara regresif. Cerita tidak diceriutakan dari tahap awal, melainkan dari tahap tengah atau akhir, barulah kemudian tahap awalnya dikisahkan. Plot campuran adalah gabungan dari keduanya. Pembedaan plot bedasarkan kriteria jumlah terbagi menjadi dua, yaitu plot tunggal dan plot sub-subplot. Karya fiksi yang berplot tunggal biasanya hanya mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan sebuah cerita dengan seorang tokoh utama protagonis yang sebagai hero. Cerita biasanya hanya mengikuti perjalanan hidup tokoh tersebut, lengkap dengan permasalahan dan konflik yang dialaminya. Sedang plot sub-subplot, yaitu sebuah karya fiksi yang memiliki lebih dari satu alur cerita yang dikisahkan. Struktur plot yang demikian dalam sebuah karya barangkali berupa adanya sebuah plot utama dan plot tambahan. Plot utama lebih berperan dan lebih penting dari pada plot tambahan. Pembedaan plot bedasarkan kriteria kepadatan dibagi menjadi dua, yaitu plot padat dan plot longgar. Plot padat adalah cerita yang disajikan secara cepat, peristiwa-peristiwa fungsional terjadi susul-menyusul secara cepat, hubungan antarperistiwa juga terjalin secara erat. Sedang plot longgar merupakan kebalikan dari plot padat. Plot longgar dalam pergantian peristiwa fungsional satu ke peristiwa fungsional berikutnya tidaklah erat dan berlangsung
lambat. Dalam novel berplot longgar biasanya terdapat peristiwa selingan atau peristiwa tambahan. d. Latar Abrams mengungkapkan latar merupakan elemen pembentuk cerita yang sangat penting dalam karya sastra. Hal itu dikarenakan latar akan dapat menentukan situasi umum sebuah karya sastra. Pada hakekatnya latar tidak hanya sekedar menyatakan di mana, kapan, dan bagaimana situasi peristiwa berlangsung, melainkan berkaitan dengan gambaran tradisi, karakter, perilaku sosial, dan pandangan masyarakat. Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Pembaca, dengan demikian, merasa dipermudah untuk “mengoperasikan” daya imajinasinya, di samping dimungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentag latar. Pembaca yang merasa dan menilai kebenaran, ketepatan dan akulturasi latar yang diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah merasa menemukan dalam cerita itu sesuatu yang sebenarnya menjadi bagian dirinya. Hal ini akan terjadi jika latar mampu mengangkat suasana setempat, warna lokal, lengkap dengan perwatakan ke dalam cerita. Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan masalah yang berbeda dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Sedangkan Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya dengan peristiwa sejarah. Selanjutnya, latar sosial adalah menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Hal tersebut senada dengan yang dikemukakan Kelley Griffith (1986:52), yang menyatakan bahwa: Setting includes several closelyrelated aspects of a work of fiction. First, setting is the physical, sensuous world of work. Second, it is the time in which the avtion of the work takes place. And third, it is the social environment of the characters: the manners, customs, and moral values that govern the character’s society.
e. Sudut Pandang
Sudut pandang merupakan posisi pengarang pada cerita yang dikisahkannya. Seperti yang dikemukakan oleh Kelley Griffith:
Point of view is author’s relationhip to his or her fictional world, especially to the minds of the characters. Another way of putting this is to define point of view as the position from which the story is told (1986:56).
Menurut Harry Show (1972 : 293) sudut pandang dibagi menjadi 3 yaitu :
1. Pengarang menggunakan sudut pandang took dan kata ganti orang pertama, mengisahkan apa yang terjadi dengan dirinya dan mengungkapkan perasaannya sendiri dengan kata-katanya sendiri.
2. Pengarang mengunakan sudut pandang tokoh bawahan, ia lebih banyak mengamati dari luar daripada terlihat di dalam cerita pengarang biasanya menggunakan kata ganti orang ketiga.
3. Pengarang menggunakan sudut pandang impersonal, ia sama sekali berdiri di luar cerita, ia serba melihat, serba mendengar, serba tahu. Ia melihat sampai ke dalam pikiran tokoh dan mampu mengisahkan rahasia batin yang paling dalam dari tokoh.
Sedangkan untuk faktor ekstrinsik, adalah unsur-unsur yang berada di luar novel, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi struktur novel tersebut. Faktor ekstrinsik yang pertama yaitu pengarang di mana wawasan dan pengetahuannya sangat menentukan kualitas karya sastra yang dihasilkannya. Faktor ekstrinsik yang lain adalah respons masyarakat terhadap karya sastra tersebut yang berupa munculnya resensi dan artikel media tentang sastra tersebut.
DAFTAR PUSTKA
Burhan Nurgiyantoro. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Jakob Sumardjo. 1991. Pengantar Novel Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bhakti
Burhan Nurgiyantoro. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
M.H. Abrams. 1979. The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition. New York: Oxford University.
Nugraheni Eko Wardhani. 2009. Makna Totalitas dalam Karya Sastra. Solo: UNS Press.
Suroto. 1989. Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Wellek, Rene, Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Diterjemahkan oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar